Memberi Makna Tradisi Mudik

MENJELANG Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, arus jalan raya dipastikan mengalami kepadatan. Setiap tahun fenomena ini terus-menerus terjadi dan telah menjadi tradisi masyarakat negeri ini. Tradisi mudik telah berlangsung bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Konon, awalnya hanya masyarakat Jawa yang mengenal tradisi mudik, tapi perlahan mentradisi menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat negeri ini. Bahkan, tidak hanya masyarakat muslim yang melakukan mudik, tapi juga umat agama lain.

Dari artinya, mudik adalah pulang ke udik. Mudik adalah pulang ke kampung halaman atau daerah asal bersamaan dengan datangnya Lebaran. Mudik dilakukan oleh mereka yang merantau ke kota/daerah lain. Mudik ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh para pekerja, tapi juga mereka yang merantau untuk menempuh jenjang pendidikan. Seperti terlihat, mereka yang merantau di kota atau daerah lain rela berdesak-desakan dalam angkutan umum untuk dapat pulang ke kampung halaman. Bus, kereta api, kapal laut dipenuhi lautan manusia yang ingin bersua dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan siapa pun di daerah asal. Bahkan, kendaraan pribadi tak ketinggalan memadati jalan raya untuk mengantarkan segenap kehendak pulang ke kampung halaman.

Tradisi mudik yang menyatu dalam derap kehidupan masyarakat ini sayangnya tak selalu positif. Adakalanya tujuan mudik mengalami reduksi ketika pulang ke kampung halaman sekadar pamer keberhasilan. Entah apa keberhasilan itu, biasanya berwujud materi. Materi selalu menjadi ukuran keberhasilan sehingga perasaan gengsi menghinggapi mereka yang mudik. Di hadapan warga kampung halaman, mereka yang mudik tak ingin dilihat sebagai orang yang gagal di perantauan. Di sisi lain, mudik justru menjadi ajang pemborosan. Disamping biaya transportasi yang tidak sedikit, pola konsumtif selalu mewarnai orang-orang yang mudik. Uang tunjangan hari raya ataupun tabungan dari pendapatan ketika bekerja sering kali dibangkrutkan untuk Lebaran.

Pastinya, tradisi mudik memang khas masyarakat negeri ini. Di Timur Tengah, misalnya, malah adem ayem saja tanpa hiruk-pikuk kerumunan arus mudik. Mudik bukan tuntunan dalam Islam, tapi kebiasaan yang mentradisi. Tradisi mudik tetap sah-sah saja dilakukan sebagai sebentuk kearifan kultural. Dengan pemaknaan tepat, mudik dimungkinkan memberikan pahala tersendiri. Dalam tuntutan Islam, ada silaturahmi sebagai pintu kebaikan. Dengan tradisi mudik, silaturahmi dilakukan terhadap keluarga, sanak saudara, kerabat, dan siapa pun di kampung halaman yang mungkin saja tidak bersua begitu lamanya. Lewat tradisi mudik, jalinan kekeluargaan dan persaudaraan akhirnya bisa terus tersambung. Ada dimensi sosial kemasyarakatan dalam tradisi mudik yang tentunya mengandung kebijaksanaan.

Dalam hal ini, tradisi mudik harapannya bisa dimaknai positif. Tradisi mudik bukanlah ajang menghambur-hamburkan uang ataupun pamer keberhasilan di perantauan. Dalam tradisi mudik tercermin suatu makna perennial bahwa setiap orang menghendaki atau mengharapkan kembalinya diri ke tempat asal-muasal. Kegaduhan kota mungkin saja telah menodai pikiran dan hati sehingga membuat kehidupan kehilangan nurani. Kehidupan kampung halaman yang asri dan dipenuhi kesejukan menandakan sebuah jati diri yang asli. Kampung halaman identik dengan kepolosan, keluguan, dan kejujuran yang menjadi ruang refleksi mensucikan diri. Energi positif harapannya didapatkan dari kampung halaman untuk kemudian diwujudnyatakan dalam aktivitas kehidupan di perkotaan. Seperti halnya momentum Idul Fitri yang kembali pada fitrah kesucian, setiap diri menjadi manusia baru yang siap menebar kemaslahatan bagi kehidupan. Dengan melakukan mudik, setiap diri di kampung halaman berbagi kebahagiaan dan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Kebahagiaan dan kemenangan memiliki sifat baik, jujur, sabar, tepa slira, peduli pada sesama, dan membenci kemungkaran yang akan menyatupadu dalam derap kehidupan setelah Ramadan.

Di sisi lain, tradisi mudik semestinya juga bisa memberdayakan. Artinya, mudik tak sekadar pulang ke kampung halaman, tapi bangkitnya kesadaran untuk memajukan daerah. Mereka yang melakukan mudik perlu berkontribusi bagi pemberdayaan penduduk di kampung halamannya. Beragam hal positif seperti menciptakan lapangan pekerjaan atau melatih ketrampilan kerja penduduk di kampung halaman bisa dilakukan. Mahasiswa yang mudik juga perlu berkontribusi mencerdaskan kehidupan masyarakat di kampung halamannya. Hal yang bisa dilakukan adalah mencoba merintis dan menciptakan program-program pendidikan dan pelatihan, seperti program pemberantasan buta aksara, mendirikan perpustakaan atau lembaga bimbingan belajar untuk anak-anak usia sekolah di daerahnya. Pramoedya Ananta Toer dalam esainya berjudul “ Jakarta ” pernah berujar, “Lupakan Jakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat­lah usaha agar daerah bisa menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Sehingga daerah bisa juga melahirkan bunga bangsa di kemudian hari.”

Lupakan Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Tanggung jawab sosial harus ditumbuhkan sehingga kuasa memberdayakan penduduk di kampung halaman. Pada titik ini, tradisi mudik bukan malah menciptakan dampak arus urbanisasi yang akhirnya menambah kepadatan perkotaan. Bagi pemerintah, tradisi mudik hendaknya menyadarkan bahwa masih terjadi ketimpangan pemerataan pembangunan di daerah-daerah. Banyak aspek yang menyebabkan tradisi mudik, salah satunya adalah wujud belum meratanya pembangunan. Banyaknya massa yang melakukan hajatan mudik menandakan masih ada ketimpangan sumber pengharapan penghidupan antara di kota-kota besar dengan di pedesaan/kota-kota kecil. Akses penghidupan dinilai menjanjikan di kota-kota besar sehingga banyak orang berbondong-bondong ke kota besar untuk mendapatkan pekerjaan secara layak meskipun tak ada jaminan sepenuhnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute&Redaktur Educinfo FIP UNY

Puasa Sepuasa-puasanya

Hari berganti hari, ibadah puasa Ramadan dilalui. Pada bulan Ramadan, suasana kehidupan memang terasa berbeda. Kesalehan tampak membahana memenuhi sudut-sudut ruang kehidupan. Setiap manusia yang menjalankan puasa berupaya memperbanyak kebaikan. Entah apa motifnya, kebaikan memiliki keutamaan pada bulan ini dan dijanjikan Tuhan dengan pahala berlipat-lipat. Hubungan vertikal dengan Sang Pencipta intensif dilakukan. Masjid-masjid pun semarak dengan kajian-kajian keagamaan dan kegiatan Ramadan lainnya. Di televisi, Ramadan telah menutup aurat para artis sehingga berbusana lebih sopan. Tayangan-tayangan hikmah Ramadan disiarkan.

Ramadan memang diakui mampu merubah perilaku dan kebiasaan manusia. Tidak hanya dimensi vertikal yang mengemuka, dimensi horizontal pun tampak. Salat tarawih dan subuh berjama’ah yang tampak di bulan Ramadan juga menandakan sebuah kebersamaan sosial. Kepedulian sosial lewat infak dan sedekah terasa ringan dilakukan. Siapa pun yang menjalankan ibadah puasa sekuat daya menahan hawa nafsu dari perbuatan-perbuatan tercela. Wajah kebaikan menjadi ciri khas Ramadan, baik di lingkungan elite kekuasaan maupun lingkungan kawula alit.

Namun demikian, tidak seluruh manusia melewati bulan Ramadan secara positif. Pada bulan Ramadan, konsumerisme seolah-olah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan. Meskipun berpuasa, pengeluaran finansial justru melonjak untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari. Ramadan yang seyogianya melatih kesederhanaan dan mampu menekan pengeluaran karena berpuasa malah memboroskan uang. Bahkan, tak jarang acara buka bersama yang sering kali dilakukan di bulan Ramadan mengeluarkan biaya yang besar. Begitu pula tayangan-tayangan di televisi tak sepenuhnya mencerminkan nuansa Ramadan. Ramadan hanya dijadikan bungkus tayangan televisi yang sebenarnya tak sesuai dengan nilai-nilai Ramadan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Tayangan televisi miskin ilmu sehingga tak menambah wawasan dan pengetahuan keagamaan masyarakat. Bulan Ramadan yang seyogianya bisa membangun watak dan karakter masyarakat justru hilang dalam tayangan televisi yang mengeksploitasi Ramadan sebagai ajang hura-hura saat sahur dan berbuka puasa.

Dengan beragam wajah yang tampak pada bulan Ramadan, siapa pun tentu ingin agar Ramadan tak sekadar ritual tahunan tanpa makna. Puasa menyimpan keluhuran tujuan untuk membentuk kualitas kesalehan manusia secara individual dan sosial. Misi Ramadan untuk membentuk manusia bertakwa perlu dimaknai secara lebih mendalam sehingga tidak berlalu begitu saja. Bulan Ramadan adalah bulan pendidikan yang seyogianya dijadikan wahana mendidik pikiran, hati, dan perilaku manusia. Melalui Ramadan, sikap dan perilaku positif manusia dibiasakan sehingga menetap secara permanen setelah Ramadan. Ramadan semestinya membawa perubahan lebih baik bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pada titik ini, siapa pun sekiranya perlu melakukan introspeksi diri. Puasa yang telah dijalankan bertahun-tahun seharusnya menjadikan wajah negeri ini lebih baik. Puasa tak sekadar dimaknai sebagai menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan antara suami-istri dari terbit fajar sampai tenggelam matahari, tapi lebih dari itu. Ibadah puasa dijalankan tentu saja menyimpan hikmah. Menurut Budi Darwawan (2004), puasa membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, melatih penguasaan terhadap diri, menumbuhkan self control, dan membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri. Puasa menumbuhkan sikap mengakui kelemahan diri dan rasa syukur terhadap karunia dan nikmat Allah SWT. Meminjam konsep Al-Ghazali, tingkatan puasa orang khusus (khawash) dan puasa orang sangat khusus (khawasul khawash) sangat diharapkan. Puasa sepuasa-puasanya. Artinya, puasa juga mengendalikan diri dari perbuatan tercela. Seluruh panca indera harus dikekang untuk tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang menjurus pada dosa. Puasa dilakukan untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Dalam hal ini, kesadaran ber-Tuhan menjelma dalam kepribadian manusia sehingga menampakkan sifat-sifat ilahiyah dalam sepak terjang kehidupan.

Maka, puasa yang bermakna tentu puasa yang mampu membentuk karakter positif. Setiap diri hendaknya memuasakan diri dari perkataan dan perbuatan tercela. Keberhasilan menjalankan ibadah puasa akan didapat jika setiap manusia melakukan puasa sepuasa-puasanya. Dengan puasa sepuasa-puasanya, maka karakter positif terbentuk sehingga setiap diri mampu menghilangkan arogansi, ketidakjujuran, korupsi, dan kejahatan kemanusian. Puasa sepuasa-puasanya menjadikan manusia membenci perilaku merusak lingkungan dan perilaku-perilaku tidak manusiawi. Puasa sepuasa-puasanya melenyapkan ego diri dan mampu menempatkan orang lain menjadi bagian hidupnya.

Pastinya, puasa Ramadan diharapkan bisa berpengaruh signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Siapa pun yang menjalankan ibadah puasa berhak berlomba-lomba meraih derajat takwa yang merupakan tujuan dari puasa Ramadan. Takwa tak bisa diukur secara kuantitatif. Takwa akan tampak dalam perkataan dan perbuatan keseharian. Takwa, kata Nurcholis Madjid (1995), merupakan kelahiran kesadaran ber-Tuhan. Setiap manusia setelah Ramadan usai terlahir kembali menjadi “manusia suci” yang memahami Tuhan dan menaati-Nya. Perintah-perintah Allah SWT kepada manusia untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan harus dijalankan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, ibadah harus dimaknai secara komprehensif. Ibadah tak sekadar sembahyang dan sujud ke hadirat Tuhan, tapi seluruh perbuatan baik dalam kehidupan pada dasarnya berdimensi ibadah. Tidak korupsi adalah wujud ibadah kepada Tuhan. Setiap manusia menjalankan ibadah kepada Tuhan jika mampu merasakan penderitaan sesama dan terpanggil untuk mengentaskan kemiskinan. Menciptakan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara menjadi lebih baik merupakan ibadah kepada Tuhan.

Pertanyaan, benarkah kita melakukan puasa sepuasa-puasanya pada bulan Ramadan ini? Atau justru puasa sekadar ritual tahunan yang tak memberikan dampak bagi perbaikan kehidupan? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO