Hari berganti hari, ibadah puasa Ramadan dilalui. Pada bulan Ramadan, suasana kehidupan memang terasa berbeda. Kesalehan tampak membahana memenuhi sudut-sudut ruang kehidupan. Setiap manusia yang menjalankan puasa berupaya memperbanyak kebaikan. Entah apa motifnya, kebaikan memiliki keutamaan pada bulan ini dan dijanjikan Tuhan dengan pahala berlipat-lipat. Hubungan vertikal dengan Sang Pencipta intensif dilakukan. Masjid-masjid pun semarak dengan kajian-kajian keagamaan dan kegiatan Ramadan lainnya. Di televisi, Ramadan telah menutup aurat para artis sehingga berbusana lebih sopan. Tayangan-tayangan hikmah Ramadan disiarkan.
Ramadan memang diakui mampu merubah perilaku dan kebiasaan manusia. Tidak hanya dimensi vertikal yang mengemuka, dimensi horizontal pun tampak. Salat tarawih dan subuh berjama’ah yang tampak di bulan Ramadan juga menandakan sebuah kebersamaan sosial. Kepedulian sosial lewat infak dan sedekah terasa ringan dilakukan. Siapa pun yang menjalankan ibadah puasa sekuat daya menahan hawa nafsu dari perbuatan-perbuatan tercela. Wajah kebaikan menjadi ciri khas Ramadan, baik di lingkungan elite kekuasaan maupun lingkungan kawula alit.
Namun demikian, tidak seluruh manusia melewati bulan Ramadan secara positif. Pada bulan Ramadan, konsumerisme seolah-olah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan. Meskipun berpuasa, pengeluaran finansial justru melonjak untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari. Ramadan yang seyogianya melatih kesederhanaan dan mampu menekan pengeluaran karena berpuasa malah memboroskan uang. Bahkan, tak jarang acara buka bersama yang sering kali dilakukan di bulan Ramadan mengeluarkan biaya yang besar. Begitu pula tayangan-tayangan di televisi tak sepenuhnya mencerminkan nuansa Ramadan. Ramadan hanya dijadikan bungkus tayangan televisi yang sebenarnya tak sesuai dengan nilai-nilai Ramadan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Tayangan televisi miskin ilmu sehingga tak menambah wawasan dan pengetahuan keagamaan masyarakat. Bulan Ramadan yang seyogianya bisa membangun watak dan karakter masyarakat justru hilang dalam tayangan televisi yang mengeksploitasi Ramadan sebagai ajang hura-hura saat sahur dan berbuka puasa.
Dengan beragam wajah yang tampak pada bulan Ramadan, siapa pun tentu ingin agar Ramadan tak sekadar ritual tahunan tanpa makna. Puasa menyimpan keluhuran tujuan untuk membentuk kualitas kesalehan manusia secara individual dan sosial. Misi Ramadan untuk membentuk manusia bertakwa perlu dimaknai secara lebih mendalam sehingga tidak berlalu begitu saja. Bulan Ramadan adalah bulan pendidikan yang seyogianya dijadikan wahana mendidik pikiran, hati, dan perilaku manusia. Melalui Ramadan, sikap dan perilaku positif manusia dibiasakan sehingga menetap secara permanen setelah Ramadan. Ramadan semestinya membawa perubahan lebih baik bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pada titik ini, siapa pun sekiranya perlu melakukan introspeksi diri. Puasa yang telah dijalankan bertahun-tahun seharusnya menjadikan wajah negeri ini lebih baik. Puasa tak sekadar dimaknai sebagai menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan antara suami-istri dari terbit fajar sampai tenggelam matahari, tapi lebih dari itu. Ibadah puasa dijalankan tentu saja menyimpan hikmah. Menurut Budi Darwawan (2004), puasa membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, melatih penguasaan terhadap diri, menumbuhkan self control, dan membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri. Puasa menumbuhkan sikap mengakui kelemahan diri dan rasa syukur terhadap karunia dan nikmat Allah SWT. Meminjam konsep Al-Ghazali, tingkatan puasa orang khusus (khawash) dan puasa orang sangat khusus (khawasul khawash) sangat diharapkan. Puasa sepuasa-puasanya. Artinya, puasa juga mengendalikan diri dari perbuatan tercela. Seluruh panca indera harus dikekang untuk tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang menjurus pada dosa. Puasa dilakukan untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Dalam hal ini, kesadaran ber-Tuhan menjelma dalam kepribadian manusia sehingga menampakkan sifat-sifat ilahiyah dalam sepak terjang kehidupan.
Maka, puasa yang bermakna tentu puasa yang mampu membentuk karakter positif. Setiap diri hendaknya memuasakan diri dari perkataan dan perbuatan tercela. Keberhasilan menjalankan ibadah puasa akan didapat jika setiap manusia melakukan puasa sepuasa-puasanya. Dengan puasa sepuasa-puasanya, maka karakter positif terbentuk sehingga setiap diri mampu menghilangkan arogansi, ketidakjujuran, korupsi, dan kejahatan kemanusian. Puasa sepuasa-puasanya menjadikan manusia membenci perilaku merusak lingkungan dan perilaku-perilaku tidak manusiawi. Puasa sepuasa-puasanya melenyapkan ego diri dan mampu menempatkan orang lain menjadi bagian hidupnya.
Pastinya, puasa Ramadan diharapkan bisa berpengaruh signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Siapa pun yang menjalankan ibadah puasa berhak berlomba-lomba meraih derajat takwa yang merupakan tujuan dari puasa Ramadan. Takwa tak bisa diukur secara kuantitatif. Takwa akan tampak dalam perkataan dan perbuatan keseharian. Takwa, kata Nurcholis Madjid (1995), merupakan kelahiran kesadaran ber-Tuhan. Setiap manusia setelah Ramadan usai terlahir kembali menjadi “manusia suci” yang memahami Tuhan dan menaati-Nya. Perintah-perintah Allah SWT kepada manusia untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan harus dijalankan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, ibadah harus dimaknai secara komprehensif. Ibadah tak sekadar sembahyang dan sujud ke hadirat Tuhan, tapi seluruh perbuatan baik dalam kehidupan pada dasarnya berdimensi ibadah. Tidak korupsi adalah wujud ibadah kepada Tuhan. Setiap manusia menjalankan ibadah kepada Tuhan jika mampu merasakan penderitaan sesama dan terpanggil untuk mengentaskan kemiskinan. Menciptakan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara menjadi lebih baik merupakan ibadah kepada Tuhan.
Pertanyaan, benarkah kita melakukan puasa sepuasa-puasanya pada bulan Ramadan ini? Atau justru puasa sekadar ritual tahunan yang tak memberikan dampak bagi perbaikan kehidupan? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Ramadan memang diakui mampu merubah perilaku dan kebiasaan manusia. Tidak hanya dimensi vertikal yang mengemuka, dimensi horizontal pun tampak. Salat tarawih dan subuh berjama’ah yang tampak di bulan Ramadan juga menandakan sebuah kebersamaan sosial. Kepedulian sosial lewat infak dan sedekah terasa ringan dilakukan. Siapa pun yang menjalankan ibadah puasa sekuat daya menahan hawa nafsu dari perbuatan-perbuatan tercela. Wajah kebaikan menjadi ciri khas Ramadan, baik di lingkungan elite kekuasaan maupun lingkungan kawula alit.
Namun demikian, tidak seluruh manusia melewati bulan Ramadan secara positif. Pada bulan Ramadan, konsumerisme seolah-olah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan. Meskipun berpuasa, pengeluaran finansial justru melonjak untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari. Ramadan yang seyogianya melatih kesederhanaan dan mampu menekan pengeluaran karena berpuasa malah memboroskan uang. Bahkan, tak jarang acara buka bersama yang sering kali dilakukan di bulan Ramadan mengeluarkan biaya yang besar. Begitu pula tayangan-tayangan di televisi tak sepenuhnya mencerminkan nuansa Ramadan. Ramadan hanya dijadikan bungkus tayangan televisi yang sebenarnya tak sesuai dengan nilai-nilai Ramadan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Tayangan televisi miskin ilmu sehingga tak menambah wawasan dan pengetahuan keagamaan masyarakat. Bulan Ramadan yang seyogianya bisa membangun watak dan karakter masyarakat justru hilang dalam tayangan televisi yang mengeksploitasi Ramadan sebagai ajang hura-hura saat sahur dan berbuka puasa.
Dengan beragam wajah yang tampak pada bulan Ramadan, siapa pun tentu ingin agar Ramadan tak sekadar ritual tahunan tanpa makna. Puasa menyimpan keluhuran tujuan untuk membentuk kualitas kesalehan manusia secara individual dan sosial. Misi Ramadan untuk membentuk manusia bertakwa perlu dimaknai secara lebih mendalam sehingga tidak berlalu begitu saja. Bulan Ramadan adalah bulan pendidikan yang seyogianya dijadikan wahana mendidik pikiran, hati, dan perilaku manusia. Melalui Ramadan, sikap dan perilaku positif manusia dibiasakan sehingga menetap secara permanen setelah Ramadan. Ramadan semestinya membawa perubahan lebih baik bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pada titik ini, siapa pun sekiranya perlu melakukan introspeksi diri. Puasa yang telah dijalankan bertahun-tahun seharusnya menjadikan wajah negeri ini lebih baik. Puasa tak sekadar dimaknai sebagai menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan antara suami-istri dari terbit fajar sampai tenggelam matahari, tapi lebih dari itu. Ibadah puasa dijalankan tentu saja menyimpan hikmah. Menurut Budi Darwawan (2004), puasa membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, melatih penguasaan terhadap diri, menumbuhkan self control, dan membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri. Puasa menumbuhkan sikap mengakui kelemahan diri dan rasa syukur terhadap karunia dan nikmat Allah SWT. Meminjam konsep Al-Ghazali, tingkatan puasa orang khusus (khawash) dan puasa orang sangat khusus (khawasul khawash) sangat diharapkan. Puasa sepuasa-puasanya. Artinya, puasa juga mengendalikan diri dari perbuatan tercela. Seluruh panca indera harus dikekang untuk tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang menjurus pada dosa. Puasa dilakukan untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Dalam hal ini, kesadaran ber-Tuhan menjelma dalam kepribadian manusia sehingga menampakkan sifat-sifat ilahiyah dalam sepak terjang kehidupan.
Maka, puasa yang bermakna tentu puasa yang mampu membentuk karakter positif. Setiap diri hendaknya memuasakan diri dari perkataan dan perbuatan tercela. Keberhasilan menjalankan ibadah puasa akan didapat jika setiap manusia melakukan puasa sepuasa-puasanya. Dengan puasa sepuasa-puasanya, maka karakter positif terbentuk sehingga setiap diri mampu menghilangkan arogansi, ketidakjujuran, korupsi, dan kejahatan kemanusian. Puasa sepuasa-puasanya menjadikan manusia membenci perilaku merusak lingkungan dan perilaku-perilaku tidak manusiawi. Puasa sepuasa-puasanya melenyapkan ego diri dan mampu menempatkan orang lain menjadi bagian hidupnya.
Pastinya, puasa Ramadan diharapkan bisa berpengaruh signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Siapa pun yang menjalankan ibadah puasa berhak berlomba-lomba meraih derajat takwa yang merupakan tujuan dari puasa Ramadan. Takwa tak bisa diukur secara kuantitatif. Takwa akan tampak dalam perkataan dan perbuatan keseharian. Takwa, kata Nurcholis Madjid (1995), merupakan kelahiran kesadaran ber-Tuhan. Setiap manusia setelah Ramadan usai terlahir kembali menjadi “manusia suci” yang memahami Tuhan dan menaati-Nya. Perintah-perintah Allah SWT kepada manusia untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan harus dijalankan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, ibadah harus dimaknai secara komprehensif. Ibadah tak sekadar sembahyang dan sujud ke hadirat Tuhan, tapi seluruh perbuatan baik dalam kehidupan pada dasarnya berdimensi ibadah. Tidak korupsi adalah wujud ibadah kepada Tuhan. Setiap manusia menjalankan ibadah kepada Tuhan jika mampu merasakan penderitaan sesama dan terpanggil untuk mengentaskan kemiskinan. Menciptakan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara menjadi lebih baik merupakan ibadah kepada Tuhan.
Pertanyaan, benarkah kita melakukan puasa sepuasa-puasanya pada bulan Ramadan ini? Atau justru puasa sekadar ritual tahunan yang tak memberikan dampak bagi perbaikan kehidupan? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO