Memberi Makna Tradisi Mudik

MENJELANG Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, arus jalan raya dipastikan mengalami kepadatan. Setiap tahun fenomena ini terus-menerus terjadi dan telah menjadi tradisi masyarakat negeri ini. Tradisi mudik telah berlangsung bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Konon, awalnya hanya masyarakat Jawa yang mengenal tradisi mudik, tapi perlahan mentradisi menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat negeri ini. Bahkan, tidak hanya masyarakat muslim yang melakukan mudik, tapi juga umat agama lain.

Dari artinya, mudik adalah pulang ke udik. Mudik adalah pulang ke kampung halaman atau daerah asal bersamaan dengan datangnya Lebaran. Mudik dilakukan oleh mereka yang merantau ke kota/daerah lain. Mudik ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh para pekerja, tapi juga mereka yang merantau untuk menempuh jenjang pendidikan. Seperti terlihat, mereka yang merantau di kota atau daerah lain rela berdesak-desakan dalam angkutan umum untuk dapat pulang ke kampung halaman. Bus, kereta api, kapal laut dipenuhi lautan manusia yang ingin bersua dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan siapa pun di daerah asal. Bahkan, kendaraan pribadi tak ketinggalan memadati jalan raya untuk mengantarkan segenap kehendak pulang ke kampung halaman.

Tradisi mudik yang menyatu dalam derap kehidupan masyarakat ini sayangnya tak selalu positif. Adakalanya tujuan mudik mengalami reduksi ketika pulang ke kampung halaman sekadar pamer keberhasilan. Entah apa keberhasilan itu, biasanya berwujud materi. Materi selalu menjadi ukuran keberhasilan sehingga perasaan gengsi menghinggapi mereka yang mudik. Di hadapan warga kampung halaman, mereka yang mudik tak ingin dilihat sebagai orang yang gagal di perantauan. Di sisi lain, mudik justru menjadi ajang pemborosan. Disamping biaya transportasi yang tidak sedikit, pola konsumtif selalu mewarnai orang-orang yang mudik. Uang tunjangan hari raya ataupun tabungan dari pendapatan ketika bekerja sering kali dibangkrutkan untuk Lebaran.

Pastinya, tradisi mudik memang khas masyarakat negeri ini. Di Timur Tengah, misalnya, malah adem ayem saja tanpa hiruk-pikuk kerumunan arus mudik. Mudik bukan tuntunan dalam Islam, tapi kebiasaan yang mentradisi. Tradisi mudik tetap sah-sah saja dilakukan sebagai sebentuk kearifan kultural. Dengan pemaknaan tepat, mudik dimungkinkan memberikan pahala tersendiri. Dalam tuntutan Islam, ada silaturahmi sebagai pintu kebaikan. Dengan tradisi mudik, silaturahmi dilakukan terhadap keluarga, sanak saudara, kerabat, dan siapa pun di kampung halaman yang mungkin saja tidak bersua begitu lamanya. Lewat tradisi mudik, jalinan kekeluargaan dan persaudaraan akhirnya bisa terus tersambung. Ada dimensi sosial kemasyarakatan dalam tradisi mudik yang tentunya mengandung kebijaksanaan.

Dalam hal ini, tradisi mudik harapannya bisa dimaknai positif. Tradisi mudik bukanlah ajang menghambur-hamburkan uang ataupun pamer keberhasilan di perantauan. Dalam tradisi mudik tercermin suatu makna perennial bahwa setiap orang menghendaki atau mengharapkan kembalinya diri ke tempat asal-muasal. Kegaduhan kota mungkin saja telah menodai pikiran dan hati sehingga membuat kehidupan kehilangan nurani. Kehidupan kampung halaman yang asri dan dipenuhi kesejukan menandakan sebuah jati diri yang asli. Kampung halaman identik dengan kepolosan, keluguan, dan kejujuran yang menjadi ruang refleksi mensucikan diri. Energi positif harapannya didapatkan dari kampung halaman untuk kemudian diwujudnyatakan dalam aktivitas kehidupan di perkotaan. Seperti halnya momentum Idul Fitri yang kembali pada fitrah kesucian, setiap diri menjadi manusia baru yang siap menebar kemaslahatan bagi kehidupan. Dengan melakukan mudik, setiap diri di kampung halaman berbagi kebahagiaan dan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Kebahagiaan dan kemenangan memiliki sifat baik, jujur, sabar, tepa slira, peduli pada sesama, dan membenci kemungkaran yang akan menyatupadu dalam derap kehidupan setelah Ramadan.

Di sisi lain, tradisi mudik semestinya juga bisa memberdayakan. Artinya, mudik tak sekadar pulang ke kampung halaman, tapi bangkitnya kesadaran untuk memajukan daerah. Mereka yang melakukan mudik perlu berkontribusi bagi pemberdayaan penduduk di kampung halamannya. Beragam hal positif seperti menciptakan lapangan pekerjaan atau melatih ketrampilan kerja penduduk di kampung halaman bisa dilakukan. Mahasiswa yang mudik juga perlu berkontribusi mencerdaskan kehidupan masyarakat di kampung halamannya. Hal yang bisa dilakukan adalah mencoba merintis dan menciptakan program-program pendidikan dan pelatihan, seperti program pemberantasan buta aksara, mendirikan perpustakaan atau lembaga bimbingan belajar untuk anak-anak usia sekolah di daerahnya. Pramoedya Ananta Toer dalam esainya berjudul “ Jakarta ” pernah berujar, “Lupakan Jakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat­lah usaha agar daerah bisa menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Sehingga daerah bisa juga melahirkan bunga bangsa di kemudian hari.”

Lupakan Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Tanggung jawab sosial harus ditumbuhkan sehingga kuasa memberdayakan penduduk di kampung halaman. Pada titik ini, tradisi mudik bukan malah menciptakan dampak arus urbanisasi yang akhirnya menambah kepadatan perkotaan. Bagi pemerintah, tradisi mudik hendaknya menyadarkan bahwa masih terjadi ketimpangan pemerataan pembangunan di daerah-daerah. Banyak aspek yang menyebabkan tradisi mudik, salah satunya adalah wujud belum meratanya pembangunan. Banyaknya massa yang melakukan hajatan mudik menandakan masih ada ketimpangan sumber pengharapan penghidupan antara di kota-kota besar dengan di pedesaan/kota-kota kecil. Akses penghidupan dinilai menjanjikan di kota-kota besar sehingga banyak orang berbondong-bondong ke kota besar untuk mendapatkan pekerjaan secara layak meskipun tak ada jaminan sepenuhnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute&Redaktur Educinfo FIP UNY

Puasa Sepuasa-puasanya

Hari berganti hari, ibadah puasa Ramadan dilalui. Pada bulan Ramadan, suasana kehidupan memang terasa berbeda. Kesalehan tampak membahana memenuhi sudut-sudut ruang kehidupan. Setiap manusia yang menjalankan puasa berupaya memperbanyak kebaikan. Entah apa motifnya, kebaikan memiliki keutamaan pada bulan ini dan dijanjikan Tuhan dengan pahala berlipat-lipat. Hubungan vertikal dengan Sang Pencipta intensif dilakukan. Masjid-masjid pun semarak dengan kajian-kajian keagamaan dan kegiatan Ramadan lainnya. Di televisi, Ramadan telah menutup aurat para artis sehingga berbusana lebih sopan. Tayangan-tayangan hikmah Ramadan disiarkan.

Ramadan memang diakui mampu merubah perilaku dan kebiasaan manusia. Tidak hanya dimensi vertikal yang mengemuka, dimensi horizontal pun tampak. Salat tarawih dan subuh berjama’ah yang tampak di bulan Ramadan juga menandakan sebuah kebersamaan sosial. Kepedulian sosial lewat infak dan sedekah terasa ringan dilakukan. Siapa pun yang menjalankan ibadah puasa sekuat daya menahan hawa nafsu dari perbuatan-perbuatan tercela. Wajah kebaikan menjadi ciri khas Ramadan, baik di lingkungan elite kekuasaan maupun lingkungan kawula alit.

Namun demikian, tidak seluruh manusia melewati bulan Ramadan secara positif. Pada bulan Ramadan, konsumerisme seolah-olah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan. Meskipun berpuasa, pengeluaran finansial justru melonjak untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari. Ramadan yang seyogianya melatih kesederhanaan dan mampu menekan pengeluaran karena berpuasa malah memboroskan uang. Bahkan, tak jarang acara buka bersama yang sering kali dilakukan di bulan Ramadan mengeluarkan biaya yang besar. Begitu pula tayangan-tayangan di televisi tak sepenuhnya mencerminkan nuansa Ramadan. Ramadan hanya dijadikan bungkus tayangan televisi yang sebenarnya tak sesuai dengan nilai-nilai Ramadan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Tayangan televisi miskin ilmu sehingga tak menambah wawasan dan pengetahuan keagamaan masyarakat. Bulan Ramadan yang seyogianya bisa membangun watak dan karakter masyarakat justru hilang dalam tayangan televisi yang mengeksploitasi Ramadan sebagai ajang hura-hura saat sahur dan berbuka puasa.

Dengan beragam wajah yang tampak pada bulan Ramadan, siapa pun tentu ingin agar Ramadan tak sekadar ritual tahunan tanpa makna. Puasa menyimpan keluhuran tujuan untuk membentuk kualitas kesalehan manusia secara individual dan sosial. Misi Ramadan untuk membentuk manusia bertakwa perlu dimaknai secara lebih mendalam sehingga tidak berlalu begitu saja. Bulan Ramadan adalah bulan pendidikan yang seyogianya dijadikan wahana mendidik pikiran, hati, dan perilaku manusia. Melalui Ramadan, sikap dan perilaku positif manusia dibiasakan sehingga menetap secara permanen setelah Ramadan. Ramadan semestinya membawa perubahan lebih baik bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pada titik ini, siapa pun sekiranya perlu melakukan introspeksi diri. Puasa yang telah dijalankan bertahun-tahun seharusnya menjadikan wajah negeri ini lebih baik. Puasa tak sekadar dimaknai sebagai menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan antara suami-istri dari terbit fajar sampai tenggelam matahari, tapi lebih dari itu. Ibadah puasa dijalankan tentu saja menyimpan hikmah. Menurut Budi Darwawan (2004), puasa membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, melatih penguasaan terhadap diri, menumbuhkan self control, dan membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri. Puasa menumbuhkan sikap mengakui kelemahan diri dan rasa syukur terhadap karunia dan nikmat Allah SWT. Meminjam konsep Al-Ghazali, tingkatan puasa orang khusus (khawash) dan puasa orang sangat khusus (khawasul khawash) sangat diharapkan. Puasa sepuasa-puasanya. Artinya, puasa juga mengendalikan diri dari perbuatan tercela. Seluruh panca indera harus dikekang untuk tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang menjurus pada dosa. Puasa dilakukan untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Dalam hal ini, kesadaran ber-Tuhan menjelma dalam kepribadian manusia sehingga menampakkan sifat-sifat ilahiyah dalam sepak terjang kehidupan.

Maka, puasa yang bermakna tentu puasa yang mampu membentuk karakter positif. Setiap diri hendaknya memuasakan diri dari perkataan dan perbuatan tercela. Keberhasilan menjalankan ibadah puasa akan didapat jika setiap manusia melakukan puasa sepuasa-puasanya. Dengan puasa sepuasa-puasanya, maka karakter positif terbentuk sehingga setiap diri mampu menghilangkan arogansi, ketidakjujuran, korupsi, dan kejahatan kemanusian. Puasa sepuasa-puasanya menjadikan manusia membenci perilaku merusak lingkungan dan perilaku-perilaku tidak manusiawi. Puasa sepuasa-puasanya melenyapkan ego diri dan mampu menempatkan orang lain menjadi bagian hidupnya.

Pastinya, puasa Ramadan diharapkan bisa berpengaruh signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Siapa pun yang menjalankan ibadah puasa berhak berlomba-lomba meraih derajat takwa yang merupakan tujuan dari puasa Ramadan. Takwa tak bisa diukur secara kuantitatif. Takwa akan tampak dalam perkataan dan perbuatan keseharian. Takwa, kata Nurcholis Madjid (1995), merupakan kelahiran kesadaran ber-Tuhan. Setiap manusia setelah Ramadan usai terlahir kembali menjadi “manusia suci” yang memahami Tuhan dan menaati-Nya. Perintah-perintah Allah SWT kepada manusia untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan harus dijalankan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, ibadah harus dimaknai secara komprehensif. Ibadah tak sekadar sembahyang dan sujud ke hadirat Tuhan, tapi seluruh perbuatan baik dalam kehidupan pada dasarnya berdimensi ibadah. Tidak korupsi adalah wujud ibadah kepada Tuhan. Setiap manusia menjalankan ibadah kepada Tuhan jika mampu merasakan penderitaan sesama dan terpanggil untuk mengentaskan kemiskinan. Menciptakan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara menjadi lebih baik merupakan ibadah kepada Tuhan.

Pertanyaan, benarkah kita melakukan puasa sepuasa-puasanya pada bulan Ramadan ini? Atau justru puasa sekadar ritual tahunan yang tak memberikan dampak bagi perbaikan kehidupan? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO

Puasa dan Pendidikan Budi Pekerti

PROSES pendidikan tidak sekadar melakukan transfer of knowledge, tapi juga hendaknya melakukan transfer of values. Proses pendidikan tidak sekadar memperkuat kecakapan kognitif semata, tapi juga mampu mengembangkan kepribadian dan akhlak mulia. Dengan proses pendidikan yang dapat mengembangkan seluruh potensi individu manusia, maka dihasilkan kualitas yang prima. Proses pendidikan memang seyogianya tidak sekadar mengembangkan dimensi akal. Dimensi hati, sikap, dan perilaku hendaknya diperhatikan dalam proses pendidikan. Pendidikan juga mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia. Untuk menjadi individu manusia yang unggul dan berkarakter dalam menghadapi kehidupan kini dan masa depan, pembangunan budi pekerti dalam proses pendidikan merupakan keniscayaan.

Berbicara mengenai pendidikan budi pekerti, ibadah puasa Ramadan yang sedang dijalani saat ini menemukan relevansinya. Ibadah puasa sebagai sebuah proses yang bertujuan menjadikan manusia bertakwa merupakan pendidikan yang langsung diberikan Allah SWT. Artinya, Allah SWT sendirilah yang memberikan perintah dan menempa setiap individu manusia melalui ibadah puasa Ramadan. Individu manusia yang menjalankan ibadah puasa dididik oleh Allah SWT. Melalui ibadah puasa Ramadan, individu manusia diarahkan untuk dapat mengendalikan diri. Tidak hanya mengendalikan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan antarsuami-istri sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, tapi juga mengendalikan diri dari perkataan dan perbuatan tercela. Budi pekerti yang berarti tingkah laku; perangai; akhlak; watak (KBBI, 1995:150) diarahkan pada hal yang positif melalui puasa Ramadan. Ukuran kebaikan dan keburukan berdasarkan norma agama yang ditanamkan melalui ibadah puasa Ramadan akhirnya menumbuhkan kesadaran individu manusia untuk senantiasa mencintai kebaikan dan membenci keburukan.

Melalui ibadah puasa Ramadan, pendidikan budi pekerti dilakukan dengan membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, melatih penguasaan terhadap diri, menumbuhkan self control (muraqabah), dan membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri. Ibadah puasa Ramadan juga menumbuhkan kepekaan sosial, membiasakan kedisiplinan, merajut persatuan, menumbuhkan rasa kasih sayang, memotivasi untuk melakukan banyak kebajikan, dan membangun semangat anti kemungkaran (Budi Darmawan:2004). Pendidikan budi pekerti melalui ibadah puasa Ramadan akhirnya melahirkan kualitas individu manusia yang memiliki kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Yang menjadi pertanyaan, berhasilkah pendidikan budi pekerti melalui ibadah puasa Ramadan? Ukuran keberhasilan pendidikan budi pekerti pastinya tidak dilihat dari pencapaian angka-angka kuantitatif. Keberhasilan pendidikan budi pekerti dapat dilihat setelah ibadah puasa Ramadan usai. Setelah melangsungkan ibadah puasa Ramadan, menjadi baikkah tingkah laku, akhlak, dan perangai kita yang menjalankan ibadah puasa? Pertanyaan reflektif ini menyadarkan siapa pun untuk dapat meraih prestasi optimal selama menjalankan ibadah puasa. Puasa yang dilakukan tanpa melahirkan perubahan positif dalam sikap dan perilaku tentu menjadi sia-sia. Pendidikan budi pekerti tidak berhasil dilakukan jika puasa hanya menahan lapar, dahaga, dan syahwat. Pendidikan budi pekerti melalui ibadah puasa Ramadan hanya berhasil ditempuh jika individu manusia melakukan pengekangan diri dari sikap dan perilaku yang menjurus pada dosa. Setiap perkataan dan perbuatan yang tidak terpuji dihindari sehingga menginternalisasi dalam diri.

Pendidikan budi pekerti melalui ibadah puasa Ramadan jelas menjadi sesuatu yang bermakna dan seyogianya berhasil ditempuh. Puasa Ramadan yang berhasil membangun budi pekerti dapat dikatakan merupakan kemenangan menunaikan ibadah Ramadan. Kemenangan ibadah puasa bukan karena berhasil menahan makan dan minum selama sekitar sebulan, tapi lahirnya perubahan positif dalam diri kita. Kita meraih kemenangan Ramadan jika nilai-nilai pengendalian diri, kejujuran, kesabaran, semangat kebajikan dan antikemungkaran, serta kepedulian sosial terus tertanam setelah Ramadan. Dengan membangun budi pekerti luhur dan mulia melalui ibadah puasa Ramadan harapannya berdampak pada kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pada titik ini, kita selayaknya mengevaluasi ibadah puasa yang telah dijalankan sebelum akhirnya berhenti di ujung Ramadan. Disadari atau tidak, seberapa sering kita menapaki ibadah puasa Ramadan ternyata belum berbanding lurus dengan kebaikan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Bertahun-tahun ibadah puasa menghampiri ternyata belum kuasa mencerahkan wajah negeri. Bukankah proklamasi kemerdekaan 1945 dibacakan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia bertepatan dengan bulan Ramadan? Lebih monumental lagi, pembacaan teks proklamasi itu persis saat peringatan Nuzulul Qu’ran yang jatuh setiap tanggal 17 Ramadan. Jadi, sungguh takjubnya kita mengetahui negeri ini diproklamasikan kemerdekaannya pada bulan yang mulia, bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh ampunan. Lalu, mengapa lahirnya negeri Indonesia di bulan suci Ramadan tak berbanding lurus dengan kondisi senyatanya negeri ini? Jawabannya boleh jadi karena ibadah puasa Ramadan dilalui hanya sekadar menahan lapar dan dahaga dengan mengabaikan pendidikan budi pekerti. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute&Pengurus PPWI DIY

Di Balik Tradisi Mudik

BANYAK orang dari perantauan berduyun-duyun pulang ke kampung halaman menjelang hari Lebaran ini. Lalu lintas jalan raya pun akan penuh sesak dengan angkutan umum darat dan juga kendaraan pribadi. Tak hanya di darat, transportasi laut pun digunakan untuk memenuhi tujuan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di kampung halaman. Menteri Perhubungan, Jusman Safii Djamal, mengemukakan bahwa jumlah penumpang angkutan umum pada arus mudik tahun ini diprediksi 16,25 juta orang. Pemudik yang menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi mencapai 11 juta orang. Sebanyak 34.358 bus, 119 kapal penyeberangan, 725 kapal angkutan, 276 pesawat, dan 227 rangkaian kereta api disiapkan untuk memuluskan perjalanan mudik.

Fenomena khas tradisi mudik memang telah berlangsung bertahun-tahun di negeri ini Bahkan, menurut Umar Kayam (2002), mudik telah terjadi berabad-abad lalu. Dikatakan Umar Kayam bahwa mudik awalnya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Dahulu kegiatan itu digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur yang disertai upacara doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan. Tujuannya adalah agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tak dirundung petaka. Apa yang dilakukan itu akhirnya terkikis ketika Islam masuk ke tanah Jawa. Kegiatan itu merupakan perbuatan sia-sia dan masuk dalam kategori syirik. Meski demikian, peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri. Mudik digunakan oleh kaum perantau untuk bersilaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di kampung halaman.

Mudik memang bisa dikatakan semacam peluang bagi siapa pun yang merantau untuk merekatkan kembali tali kekeluargaan dan persaudaraan di daerah asalnya. Setelah bekerja di tempat rantau, kerinduan akan kampung halaman menemukan kesempatan bersamaan dengan libur Lebaran. Tradisi mudik yang telah berlangsung bertahun-tahun tentu tak lepas dari pertanyaan yang mungkin sulit dicari jawabannya. Sebut saja pengeluaran finansial yang tidak sedikit harus rela dikeluarkan demi pulang ke kampung halaman. Bagi kaum perantau yang berhasil secara finansial mungkin tak menjadi masalah, namun berbeda dengan kaum perantau yang tidak berkecukupan. Meskipun pergi ke luar daerah/kota-kota besar bertujuan mendapatkan pekerjaan layak, kaum perantau tidak semuanya mengalami keberhasilan. Namun demikian, seberapa pun uang dikeluarkan untuk mudik seolah-olah tidak menjadi persoalan. Bahkan, gaji selama setahun disisihkan dan dialokasikan untuk biaya mudik yang hanya mungkin dilakukan sekali setahun. Lewat tradisi mudik, kita menyaksikan betapa kerinduan kembali ke kampung halaman tak bisa dibendung. Dalam perjalanan, keselamatan jiwa sering kali menjadi taruhan, tapi mereka yang merantau yakin dengan keamanan perjalanan. Apapun dilakukan untuk dapat bersua dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman meskipun mengeluarkan biaya besar dan nyawa menjadi taruhan.

Fenomena mudik yang mentradisi dalam masyarakat negeri ini pastinya dapat dilihat dari beragam sudut pandang. Mudik memiliki arti pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran. Mudik dilakukan oleh mereka yang merantau ke luar daerah asal. Kota-kota besar menjadi tujuan yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup lebih baik. Hal ini disebabkan di daerah asal atau pedesaan kurang menjamin akses pekerjaan yang layak sehingga orang-orang berketetapan hati untuk pergi ke luar daerah dan kota-kota besar. Tak hanya terkait pekerjaan, tujuan merantau juga bisa terkait dengan aspek pendidikan. Setelah lama di kota , kerinduan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan kerabat di kampung halaman tak terelakkan. Mungkin saja kesempatan bersua itu hanya setahun sekali sehingga momentum Lebaran menjadi saat yang tepat untuk pulang ke kampung halaman. Dikatakan Emha Ainun Nadjib (2004), para pemudik yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman itu sedang memenuhi tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.

Dengan melakukan mudik, orang-orang yang bekerja di kota berkehendak kembali ke jati dirinya. Muhammad Muhyidin (2008) menyatakan bahwa orang-orang kota mengalami tingkat penurunan spritualitas terhadap cara ibadah dan intensitasnya untuk taat kepada Allah SWT. Karena disibukkan dengan urusan pekerjaan ataupun urusan yang bersifat duniawi, orang-orang yang berada di kota merasakan kekeringan hati. Nurani terasa mati sehingga sulit membedakan kebaikan dan keburukan. Pada titik ini, mudik menjadi ajang mencari ketenangan batin dan memperlembut jiwa. Suasana alam pedesaan atau kampung halaman yang asri dan masih jauh dari cengkeraman modernitas semu merupakan ruang kondusif bagi lahirnya konsep diri yang asli. Kesadaran ber-Tuhan, kesadaran sebagai makhluk Tuhan, kesadaran sebagai makhluk sosial, dan kesadaran memakmurkan kehidupan ditumbuhkan ketika menikmati kampung halaman. Kembali ke asal-usul menemukan maknanya bersamaan dengan momentum Idul Fitri dimana setiap manusia kembali ke dalam kondisi fitrah yang suci setelah sebulan berpuasa.

Tradisi mudik yang menjadi fenomena sosio-religius ini seakan-akan menyimpan kearifan kultural. Namun demikian, tradisi mudik juga menandakan ketimpangan kemakmuran daerah. Tradisi mudik yang hanya kentara di negeri ini menunjukkan kurang meratanya akses penghidupan yang layak. Lahan pekerjaan dan jaminan hidup layak tidak didapatkan di pedesaan atau kota-kota kecil. Kota-kota besar menjadi pelarian dari keterhimpitan hidup meskipun mengais nafkah di kota-kota besar tidak selalu menjamin keberhasilan. Paradigma kota-kota besar adalah sumber pengharapan akhirnya menciptakan dampak lanjutan dari tradisi mudik: urbanisasi. Tradisi mudik selalu diikuti arus perpindahan orang-orang pedesaan menuju perkotaan. Dalam hal ini, tradisi mudik hendaknya menyadarkan pemerintah untuk memeratakan pembangunan dan akses penghidupan di masing-masing daerah. Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya harus diberi tanda seru. Artinya, cukup sudah perpindahan penduduk menyerbu kota-kota besar. Mereka yang merantau ke kota-kota besar perlu juga bertanggung jawab memajukan daerahnya seperti diteriakkan lantang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam esainya berjudul ”Jakarta”. Tinggallah di daerah dan saatnya membangun daerah menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik, dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Kolumnis, pegiat Transform Institute UNY

Pendidikan Profetik: Pendidikan Kini dan Masa Depan? Pendidikan Profetik: Pendidikan Kini dan Masa Depan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Bung Karno mengemukakan suatu tatanan masyarakat apik. Masyarakat apik yang dituturkan presiden pertama Republik Indonesia itu adalah masyarakat Madinah pascahijrahnya Muhammad SAW dari Mekah. Sejarah pun mengakui bahwa masyarakat Madinah di masa tokoh yang oleh Michael Hart disebut tokoh berpengaruh nomor satu di dunia (baca: Muhammad SAW) ini merupakan masyarakat yang berperadaban tinggi. Masyarakat Madinah yang sering juga disebut masyarakat Madani merupakan impian setiap cita perjuangan dalam hiruk-pikuk wacana di negeri ini.

Hadirnya masyarakat dengan peradaban tinggi di bumi Madinah pastinya tidak dicapai seketika. Ada proses pendidikan yang telah dilakukan Muhammad SAW pada saat itu untuk menempa generasi terbaik dalam lintasan sejarah. Bung Karno menuturkan, “Bahannya yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahannya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak; yakni orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang diwahyukan di Makkah itu adalah mengandung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid…”. Dari penuturan Bung Karno, pembentukan masyarakat Madinah pada dasarnya telah diawali ketika di Mekah. Individu manusia yang merupakan pilar pembentukan masyarakat adalah individu manusia yang percaya kepada Allah yang satu, memiliki keteguhan iman, memiliki kesucian akhlak, dan memiliki keluhuran budi.

Bung Karno melanjutkan, “…tauhid, percaya kepada Allah Yang Esa dan Maha Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada si miskin, berani kepada kebenaran, takut pada azabnya neraka, lezatnya ganjaran surga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat menjadi kehidupan manusia umumnya, dan fundamen ruhaninya perjuangan serta masyarakat Madinah kelak…” Pada titik ini, apa yang dituturkan Bung Karno menandakan satu hal penting bahwa pembentukan suatu tatanan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pendidikan berbasis rohani. Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan yang berlandaskan keimanan merupakan keniscayaan dalam membangun masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Secara implisit, apa yang dituturkan Bung Karno di atas seolah-olah menegaskan suatu paradigma pendidikan yang tidak meninggalkan dimensi transendensi. Bung Karno juga seolah-olah mengajak kita menghayati proses pembangunan masyarakat dalam spirit profetik (kenabian). Pendidikan profetik menjadi kunci membangun cita-cita peradaban dan tatanan masyarakat. Mengacu konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, transendensi merupakan salah satu dimensi yang berkesatuan dengan dimensi humanisasi dan liberasi. Dengan kata lain, humanisasi, liberasi, dan transendensi merupakan tiga dimensi dalam pendidikan profetik yang mengarahkan perubahan atas masyarakat. Yang perlu dicatat, dari tiga dimensi itu, transendensi merupakan landasan dan arah dari humanisasi dan liberasi. Artinya, transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Dimensi humanisasi dan liberasi dalam pendidikan profetik bukan diarahkan pada antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya. Setiap proses pendidikan untuk mengangkat martabat manusia (humanisasi) dan membebaskan manusia dari ketertindasan (liberasi) mengajak manusia memiliki ketertundukan pada Tuhan yang memang diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya dan memakmurkan kehidupan di muka bumi-Nya.

Dalam hal ini, pendidikan profetik tidak sekadar mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial semata. Pendidikan berparadigma profetik tidak hanya mengubah sesuatu hanya demi perubahan. Lebih dari itu, pendidikan berparadigma profetik mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik (Pujiriyanto:2006). Pendidikan profetik akan melahirkan individu manusia yang mampu meneruskan tugas suci sebagai makhluk Tuhan. Profetik yang bermakna kenabian bukan berarti individu manusia yang ditempa dalam pendidikan profetik akan menjadi Nabi, namun individu manusia ditempa pola pikir, sikap, dan perilakunya untuk siap mengambil peran sejarah meneruskan jejak-jejak para Nabi dalam membangun kehidupan. Membaca sejarah, setiap Nabi yang diutus Tuhan memiliki peran membawa masyarakatnya pada tatanan kehidupan yang ideal. Para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a, tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan—kata Ali Syari’ati. Individu manusia melalui pendidikan profetik akan siap menjadi pemimpin bagi masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan berjuang untuk memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan.

Dalam proses membangun individu manusia, pendidikan profetik mencakup pendidikan akal, pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan jiwa, pendidikan sosial, dan pendidikan fisik. Begitu juga pendidikan profetik mencakup pendidikan karakter. Pun, pendidikan profetik mencakup pendidikan multikultur. Dengan pendidikan profetik, individu manusia mampu memahami perbedaan dengan spirit toleransi. Masyarakat berhaluan Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu, bahkan Yahudi sekali pun bisa saling guyup rukun dalam proses pendidikan profetik. Pendidikan profetik akan mampu seperti pernah diutarakan seorang tokoh pendidikan nasional Driyarkara (1980) ketika berbicara tentang pendidikan, yakni mengangkat manusia muda ke taraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan membudayakan diri. Pendidikan profetik akan mampu seperti Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara memberi wejangan mengenai pendidikan, yakni menuntun segenap kodrat manusia agar sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinggi.

Lagi, kata Bung Karno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, ”...orang yang dididik Muhammad dengan ayat-ayat ini, serta dengan sunnah dan teladannya pula, menjadilah orang-orang yang tahan uji, yang gilang-gemilang imannya serta akhlaknya,….mutiara di kala damai....dinamit di masa berjuang...” Wallahu a’lam
HENDRA SUGIANTORO
pegiat Transform Institute &Jurnalis Educinfo FIP Universitas Negeri Yogyakarta

Palestina, Negeri yang Terluka

RASA tercekam dan ketakutan menghantui warga Gaza yang kini tengah diserang pasukan militer Israel . Sekali waktu tanpa bisa diperkirakan, bom Israel meluncur dan menghancurkan infrastruktur di wilayah berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa itu. Kini beberapa bangunan telah luluh lantak akibat serangan Israel yang dimulai Sabtu (27/12) lalu. Sampai hari ini, serangan Israel belum berhenti, bahkan Israel menambah daya serangan lewat jalur darat dengan target yang katanya adalah kelompok Hamas. Informasi terakhir menyebutkan ada sekitar lebih dari 700 jiwa telah meninggal dunia dan ribuan orang mengalami luka-luka.
Melihat serangan Israel di wilayah Gaza itu, berbagai pihak melontarkan kecaman. Begitu juga di negeri ini, demonstrasi digelar oleh berbagai kelompok mahasiswa dan masyarakat. Bahkan, pemerintah RI mengirimkan bantuan dana sebesar 1 juta dollar AS dan bantuan obat-obatan untuk warga Gaza yang tengah menjadi korban keganasan Israel . Jelasnya, hampir seluruh dunia menyatukan suara mengecam dan mengutuk tindakan Israel yang tidak berperikemanusiaan di wilayah Gaza .

Bagi kita, apa yang terjadi di wilayah Gaza memang mengundang keprihatinan. Dengan hati yang jujur, kita akan berkata bahwa kejahatan Israel dengan ideologi zionismenya harus dihentikan. Betapa banyak manusia merenggang nyawa. Tidak hanya pada tragedi saat ini, tapi sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Membuka catatan sejarah, sejak Israel berkehendak mendirikan negara terdapat sekitar 750.000 warga Palestina diusir dari tempat tinggalnya dan banyak bangunan dibumihanguskan. Tanah Palestina pun kian menciut dicaplok perlahan-lahan oleh Israel. Sampai tahun ini, kita pun bisa menyaksikan dengan mata telanjang menciutnya tanah Palestina itu.
Siapapun memang tidak bisa menutup mata terkait apa yang sebenarnya diinginkan Israel. Jika yang ditargetkan pihak Israel adalah kelompok Hamas, maka alasan Israel itu terlalu mengada-ada. Tindakan brutal Israel yang membunuh warga sipil dan anak-anak merupakan bukti nyata bahwa Israel tidak sekadar menginginkan Hamas. Perlu dicatat, serangan Israel ke wilayah Gaza sudah membunuh sekitar 200 anak-anak. Anak-anak yang memiliki hak untuk hidup itu harus menjemput kematian akibat kepongahan Israel.
Berdasarkan pengalaman, tindakan brutal Israel dianggap biasa-biasa saja dan mudah dilupakan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun seolah-olah mati kutu karena disetir Amerika Serikat yang selalu mendukung tindakan Israel. Sikap lunak terhadap Israel dimungkinkan akan berlanjut terkait penyerangan ke wilayah Gaza saat ini. Berbagai pihak hanya membuat pernyataan kecaman tanpa sekuat tenaga mengadili kejahatan kemanusiaan Israel. Memang terlihat pesimistik, tapi itulah pengalaman sejarah selama ini. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaanlah yang selayaknya melanjutkan tindakan tegas terhadap Israel ke Mahkamah Internasional. Warga di seluruh dunia yang hanya mengecam lewat demonstrasi adalah kewajaran, tapi sungguh tidak wajar jika pihak-pihak yang memiliki kekuasaan sekadar bersikap serupa. Apalagi bagi PBB, badan dunia itu seharusnya menjalankan fungsinya secara benar-benar untuk membangun perdamaian di atas muka bumi ini. Pemerintah masing-masing negara pun harus membangun kekuatan global untuk membendung keganasan Israel di Timur Tengah. Di sisi lain, kita benar-benar mengharapkan negara-negara Arab tidak sekadar berpikir untuk kepentingan pragmatisnya. Sesungguhnya tidaklah layak bagi negara-negara Arab mendiamkan nyawa melayang dan darah berceceran di negeri yang tak jauh dari jangkauan matanya. Ada penderitaan di negeri Palestina yang seharusnya menyatukan negara-negara Arab, bukannya malah ”mendukung” tindakan Israel.
Pastinya, aksi militer Israel tidak akan pernah berhenti jika tidak ada tindakan tegas. Perjanjian-perjanjian damai dan juga resolusi rumusan PBB akan menjadi percuma tanpa mengadili kejahatan kemanusiaan Israel sekaligus melucuti senjata perang Israel. Entah kapan serangan ke wilayah Gaza saat ini akan berakhir, kita tidak bisa menjamin bahwa Israel tidak akan melakukan ulah serupa dalam beberapa waktu kemudian. Bukankah kita sudah melihat kejanggalan bahwa aksi militer Israel selalu disertai keinginan mencaplok tanah Palestina? Jika Israel menginginkan perdamaian, mengapa selalu mempertontonkan kebiadabannya dengan membunuh ratusan nyawa dalam setiap aksi militernya di wilayah Palestina? Yang jelas, kita senantiasa mendukung perjuangan menjadikan negara Palestina benar-benar berdaulat. Sungguh aneh bagi kita masih saja ada tindakan penjajahan di abad 21 ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Profetik Student Center Universitas Negeri Yogyakarta

Kampanye Parpol: Khusus Dewasa!

Pelanggaran-pelanggaran selama masa kampanye seakan-akan menjadi tradisi yang tidak dapat dielakkan. Jika sebelumnya pelanggaran selalu berkutat pada pemasangan alat peraga kampanye, kini pelanggaran semakin bertambah dengan dimulainya kampanye terbuka. Pelanggaran lalu lintas, misalnya, sering kali dilakukan massa kampanye yang melakukan konvoi, seperti tidak mengenakan helm, berboncengan tiga orang, bahkan tidak mengindahkan rambu-rambu lalu lintas. Jenis-jenis pelanggaran lain pun mengemuka. Yang menarik dari berbagai pelanggaran itu adalah keterlibatan anak-anak dalam kampanye.

Selama kampanye terbuka yang belum berjalan dua pekan ini, keberadaan anak-anak di arena kampanye senantiasa terlihat. Panwaslu tiada henti memperingatkan agar anak-anak tidak diikutsertakan dalam kampanye terbuka. Parpol yang melibatkan anak-anak dalam kampanye dikatakan pelanggaran berdasarkan UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa parpol dilarang mengikutsertakan anak-anak di bawah usia 17 tahun atau warga negara yang tidak memiliki hak pilih. Dicermati dengan seksama, semua parpol melakukan pelanggaran terhadap aturan yang satu ini. Jika demikian, semua parpol tidak dapat terlepas dari jeratan pidana pemilu sebagai sanksinya.

Dengan banyaknya parpol yang melibatkan anak-anak dalam kampanye, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pun tidak tinggal diam. Dikatakan Ketua Komnas PA Seto Mulyadi (19/3/2009), Komnas PA akan mencatat dan mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran sejumlah parpol peserta pemilu yang mengikutsertakan anak di bawah umur dalam kampanyenya. Bukti-bukti pelanggaran ini menurut rencana akan dibawa ke Bawaslu, bahkan dilaporkan ke aparat kepolisian jika dalam waktu sepekan masih terlihat parpol menyertakan anak-anak dalam kampanye. Komnas PA tidak ingin menyaksikan adanya pengeksploitasian anak dalam hajatan pemilu. Kejadian meninggalnya enam orang anak dalam kampanye pemilu pada tahun 2004 silam diharapkan tidak terulang lagi. Dalam UU No 23/2003 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 15(a) telah ditegaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Jika melibatkan anak dalam kampanye merupakan menyalahgunakan anak dalam kegiatan politik, maka semua parpol telah melakukan tindakan pelanggaran terhadap hak anak.

Namun demikian, keberadaan anak-anak di arena kampanye terbuka tidak bisa dilihat dari satu sisi semata. Artinya, kita perlu meninjaunya secara menyeluruh karena keberadaan anak-anak di arena kampanye tidak selalu dimobilisasi parpol/caleg. Disamping karena dimobilisasi parpol/caleg, keberadaan anak-anak di arena kampanye justru ada yang diajak orang tuanya. Bahkan, ada orang tua malah senang mengikutkan anaknya di arena kampanye sebagai media hiburan. Kenyataan di lapangan, ada keluarga menuju arena kampanye bukan untuk mendengarkan orasi politik, tapi sekadar jalan-jalan dan refreshing. Dalam hal ini, masyarakat ternyata tidak selalu mengindentikkan ajang kampanye sebagai tempat yang tidak kondusif. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita harus memandang persoalan keterlibatan anak-anak dalam kampanye?

Dilarangnya anak-anak dilibatkan dalam kampanye dilandasi asumsi dasar bahwa ajang kampanye berbahaya bagi keselamatan anak dan tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Ajang kampanye yang dikerumuni massa selalu menghadirkan wajah yang tidak ramah bagi anak. Anak-anak yang ketika berada di arena kampanye cenderung tak ada jaminan bagi perlindungannya. Anak-anak berada dalam masa bermain dan belajar sehingga tidak layak berada di arena kampanye. Jika kampanye mempertontonkan adegan yang tidak pantas, maka itu berbahaya bagi anak. Kericuhan dan kekerasan yang mungkin saja terjadi selalu menempatkan anak dalam posisi tidak berdaya. Anak-anak yang memiliki daya ingat yang masih kuat akan merekam apapun yang terjadi di arena kampanye, padahal apa yang disaksikan belum tentu sesuai dengan tahapan perkembangannya. Menurut Diana Murtianingsih (2009), model kampanye yang dilakukan dalam rangka pemilu sebenarnya kurang tepat disaksikan anak-anak, baik ditinjau dari sudut afeksi maupun kognisinya. Kampanye menjelang pemilu cenderung instan dan tidak ada tindak lanjut dari input yang didapatkan dari kampanye sehingga anak-anak malah tidak mendapatkan pembelajaran apapun sesuai tingkatan perkembangannya.

Dalam hal ini, kita perlu menyikapi persoalan anak-anak yang berada di arena kampanye secara bijak. Pertama, peraturan perundang-undangan harus ditegakkan apapun alasannya. Yang perlu diperhatikan, keberadaan anak-anak di arena kampanye tidak melulu dimobilisasi parpol atau caleg. Panwaslu perlu melihat secara lebih cermat dan jernih parpol/caleg yang memang menyengaja melibatkan anak-anak dalam kampanye dan memberikan sanksi tegas. Jika memang pelarangan keterlibatan anak dalam kampanye telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka perlu diimplementasikan demi kewibawaan hukum. Kedua, orang tua setidaknya perlu berpikir dan mempertimbangkan kepentingan anak jika akan mengajak anaknya di arena kampanye. Jika tidak bisa ditinggal di rumah, orang tua tidak harus pergi ke tempat kampanye yang dinilai tidak ada unsur edukatifnya sedikitpun. Ketiga, parpol dan caleg seyogianya tidak memobilisasi anak ke arena kampanye sebagai bagian dari komitmen dan integritas menaati peraturan perundang-undangan yang telah dirumuskan. Parpol dalam setiap kampanyenya perlu memberikan himbauan kepada massa untuk tidak membawa anak di arena kampanye. Himbauan ini merupakan langkah minimal untuk menghindarkan kejadian yang tidak diinginkan dan memposisikan anak dalam dunianya. Bagaimana pun, kampanye parpol lebih tepat untuk kalangan dewasa. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO