Pelanggaran-pelanggaran selama masa kampanye seakan-akan menjadi tradisi yang tidak dapat dielakkan. Jika sebelumnya pelanggaran selalu berkutat pada pemasangan alat peraga kampanye, kini pelanggaran semakin bertambah dengan dimulainya kampanye terbuka. Pelanggaran lalu lintas, misalnya, sering kali dilakukan massa kampanye yang melakukan konvoi, seperti tidak mengenakan helm, berboncengan tiga orang, bahkan tidak mengindahkan rambu-rambu lalu lintas. Jenis-jenis pelanggaran lain pun mengemuka. Yang menarik dari berbagai pelanggaran itu adalah keterlibatan anak-anak dalam kampanye.
Selama kampanye terbuka yang belum berjalan dua pekan ini, keberadaan anak-anak di arena kampanye senantiasa terlihat. Panwaslu tiada henti memperingatkan agar anak-anak tidak diikutsertakan dalam kampanye terbuka. Parpol yang melibatkan anak-anak dalam kampanye dikatakan pelanggaran berdasarkan UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa parpol dilarang mengikutsertakan anak-anak di bawah usia 17 tahun atau warga negara yang tidak memiliki hak pilih. Dicermati dengan seksama, semua parpol melakukan pelanggaran terhadap aturan yang satu ini. Jika demikian, semua parpol tidak dapat terlepas dari jeratan pidana pemilu sebagai sanksinya.
Dengan banyaknya parpol yang melibatkan anak-anak dalam kampanye, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pun tidak tinggal diam. Dikatakan Ketua Komnas PA Seto Mulyadi (19/3/2009), Komnas PA akan mencatat dan mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran sejumlah parpol peserta pemilu yang mengikutsertakan anak di bawah umur dalam kampanyenya. Bukti-bukti pelanggaran ini menurut rencana akan dibawa ke Bawaslu, bahkan dilaporkan ke aparat kepolisian jika dalam waktu sepekan masih terlihat parpol menyertakan anak-anak dalam kampanye. Komnas PA tidak ingin menyaksikan adanya pengeksploitasian anak dalam hajatan pemilu. Kejadian meninggalnya enam orang anak dalam kampanye pemilu pada tahun 2004 silam diharapkan tidak terulang lagi. Dalam UU No 23/2003 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 15(a) telah ditegaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Jika melibatkan anak dalam kampanye merupakan menyalahgunakan anak dalam kegiatan politik, maka semua parpol telah melakukan tindakan pelanggaran terhadap hak anak.
Namun demikian, keberadaan anak-anak di arena kampanye terbuka tidak bisa dilihat dari satu sisi semata. Artinya, kita perlu meninjaunya secara menyeluruh karena keberadaan anak-anak di arena kampanye tidak selalu dimobilisasi parpol/caleg. Disamping karena dimobilisasi parpol/caleg, keberadaan anak-anak di arena kampanye justru ada yang diajak orang tuanya. Bahkan, ada orang tua malah senang mengikutkan anaknya di arena kampanye sebagai media hiburan. Kenyataan di lapangan, ada keluarga menuju arena kampanye bukan untuk mendengarkan orasi politik, tapi sekadar jalan-jalan dan refreshing. Dalam hal ini, masyarakat ternyata tidak selalu mengindentikkan ajang kampanye sebagai tempat yang tidak kondusif. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita harus memandang persoalan keterlibatan anak-anak dalam kampanye?
Dilarangnya anak-anak dilibatkan dalam kampanye dilandasi asumsi dasar bahwa ajang kampanye berbahaya bagi keselamatan anak dan tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Ajang kampanye yang dikerumuni massa selalu menghadirkan wajah yang tidak ramah bagi anak. Anak-anak yang ketika berada di arena kampanye cenderung tak ada jaminan bagi perlindungannya. Anak-anak berada dalam masa bermain dan belajar sehingga tidak layak berada di arena kampanye. Jika kampanye mempertontonkan adegan yang tidak pantas, maka itu berbahaya bagi anak. Kericuhan dan kekerasan yang mungkin saja terjadi selalu menempatkan anak dalam posisi tidak berdaya. Anak-anak yang memiliki daya ingat yang masih kuat akan merekam apapun yang terjadi di arena kampanye, padahal apa yang disaksikan belum tentu sesuai dengan tahapan perkembangannya. Menurut Diana Murtianingsih (2009), model kampanye yang dilakukan dalam rangka pemilu sebenarnya kurang tepat disaksikan anak-anak, baik ditinjau dari sudut afeksi maupun kognisinya. Kampanye menjelang pemilu cenderung instan dan tidak ada tindak lanjut dari input yang didapatkan dari kampanye sehingga anak-anak malah tidak mendapatkan pembelajaran apapun sesuai tingkatan perkembangannya.
Dalam hal ini, kita perlu menyikapi persoalan anak-anak yang berada di arena kampanye secara bijak. Pertama, peraturan perundang-undangan harus ditegakkan apapun alasannya. Yang perlu diperhatikan, keberadaan anak-anak di arena kampanye tidak melulu dimobilisasi parpol atau caleg. Panwaslu perlu melihat secara lebih cermat dan jernih parpol/caleg yang memang menyengaja melibatkan anak-anak dalam kampanye dan memberikan sanksi tegas. Jika memang pelarangan keterlibatan anak dalam kampanye telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka perlu diimplementasikan demi kewibawaan hukum. Kedua, orang tua setidaknya perlu berpikir dan mempertimbangkan kepentingan anak jika akan mengajak anaknya di arena kampanye. Jika tidak bisa ditinggal di rumah, orang tua tidak harus pergi ke tempat kampanye yang dinilai tidak ada unsur edukatifnya sedikitpun. Ketiga, parpol dan caleg seyogianya tidak memobilisasi anak ke arena kampanye sebagai bagian dari komitmen dan integritas menaati peraturan perundang-undangan yang telah dirumuskan. Parpol dalam setiap kampanyenya perlu memberikan himbauan kepada massa untuk tidak membawa anak di arena kampanye. Himbauan ini merupakan langkah minimal untuk menghindarkan kejadian yang tidak diinginkan dan memposisikan anak dalam dunianya. Bagaimana pun, kampanye parpol lebih tepat untuk kalangan dewasa. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Selama kampanye terbuka yang belum berjalan dua pekan ini, keberadaan anak-anak di arena kampanye senantiasa terlihat. Panwaslu tiada henti memperingatkan agar anak-anak tidak diikutsertakan dalam kampanye terbuka. Parpol yang melibatkan anak-anak dalam kampanye dikatakan pelanggaran berdasarkan UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa parpol dilarang mengikutsertakan anak-anak di bawah usia 17 tahun atau warga negara yang tidak memiliki hak pilih. Dicermati dengan seksama, semua parpol melakukan pelanggaran terhadap aturan yang satu ini. Jika demikian, semua parpol tidak dapat terlepas dari jeratan pidana pemilu sebagai sanksinya.
Dengan banyaknya parpol yang melibatkan anak-anak dalam kampanye, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pun tidak tinggal diam. Dikatakan Ketua Komnas PA Seto Mulyadi (19/3/2009), Komnas PA akan mencatat dan mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran sejumlah parpol peserta pemilu yang mengikutsertakan anak di bawah umur dalam kampanyenya. Bukti-bukti pelanggaran ini menurut rencana akan dibawa ke Bawaslu, bahkan dilaporkan ke aparat kepolisian jika dalam waktu sepekan masih terlihat parpol menyertakan anak-anak dalam kampanye. Komnas PA tidak ingin menyaksikan adanya pengeksploitasian anak dalam hajatan pemilu. Kejadian meninggalnya enam orang anak dalam kampanye pemilu pada tahun 2004 silam diharapkan tidak terulang lagi. Dalam UU No 23/2003 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 15(a) telah ditegaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Jika melibatkan anak dalam kampanye merupakan menyalahgunakan anak dalam kegiatan politik, maka semua parpol telah melakukan tindakan pelanggaran terhadap hak anak.
Namun demikian, keberadaan anak-anak di arena kampanye terbuka tidak bisa dilihat dari satu sisi semata. Artinya, kita perlu meninjaunya secara menyeluruh karena keberadaan anak-anak di arena kampanye tidak selalu dimobilisasi parpol/caleg. Disamping karena dimobilisasi parpol/caleg, keberadaan anak-anak di arena kampanye justru ada yang diajak orang tuanya. Bahkan, ada orang tua malah senang mengikutkan anaknya di arena kampanye sebagai media hiburan. Kenyataan di lapangan, ada keluarga menuju arena kampanye bukan untuk mendengarkan orasi politik, tapi sekadar jalan-jalan dan refreshing. Dalam hal ini, masyarakat ternyata tidak selalu mengindentikkan ajang kampanye sebagai tempat yang tidak kondusif. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita harus memandang persoalan keterlibatan anak-anak dalam kampanye?
Dilarangnya anak-anak dilibatkan dalam kampanye dilandasi asumsi dasar bahwa ajang kampanye berbahaya bagi keselamatan anak dan tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Ajang kampanye yang dikerumuni massa selalu menghadirkan wajah yang tidak ramah bagi anak. Anak-anak yang ketika berada di arena kampanye cenderung tak ada jaminan bagi perlindungannya. Anak-anak berada dalam masa bermain dan belajar sehingga tidak layak berada di arena kampanye. Jika kampanye mempertontonkan adegan yang tidak pantas, maka itu berbahaya bagi anak. Kericuhan dan kekerasan yang mungkin saja terjadi selalu menempatkan anak dalam posisi tidak berdaya. Anak-anak yang memiliki daya ingat yang masih kuat akan merekam apapun yang terjadi di arena kampanye, padahal apa yang disaksikan belum tentu sesuai dengan tahapan perkembangannya. Menurut Diana Murtianingsih (2009), model kampanye yang dilakukan dalam rangka pemilu sebenarnya kurang tepat disaksikan anak-anak, baik ditinjau dari sudut afeksi maupun kognisinya. Kampanye menjelang pemilu cenderung instan dan tidak ada tindak lanjut dari input yang didapatkan dari kampanye sehingga anak-anak malah tidak mendapatkan pembelajaran apapun sesuai tingkatan perkembangannya.
Dalam hal ini, kita perlu menyikapi persoalan anak-anak yang berada di arena kampanye secara bijak. Pertama, peraturan perundang-undangan harus ditegakkan apapun alasannya. Yang perlu diperhatikan, keberadaan anak-anak di arena kampanye tidak melulu dimobilisasi parpol atau caleg. Panwaslu perlu melihat secara lebih cermat dan jernih parpol/caleg yang memang menyengaja melibatkan anak-anak dalam kampanye dan memberikan sanksi tegas. Jika memang pelarangan keterlibatan anak dalam kampanye telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka perlu diimplementasikan demi kewibawaan hukum. Kedua, orang tua setidaknya perlu berpikir dan mempertimbangkan kepentingan anak jika akan mengajak anaknya di arena kampanye. Jika tidak bisa ditinggal di rumah, orang tua tidak harus pergi ke tempat kampanye yang dinilai tidak ada unsur edukatifnya sedikitpun. Ketiga, parpol dan caleg seyogianya tidak memobilisasi anak ke arena kampanye sebagai bagian dari komitmen dan integritas menaati peraturan perundang-undangan yang telah dirumuskan. Parpol dalam setiap kampanyenya perlu memberikan himbauan kepada massa untuk tidak membawa anak di arena kampanye. Himbauan ini merupakan langkah minimal untuk menghindarkan kejadian yang tidak diinginkan dan memposisikan anak dalam dunianya. Bagaimana pun, kampanye parpol lebih tepat untuk kalangan dewasa. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO