PILIHAN UNTUK BERJUANG

PERJALANAN hidup adalah keniscayaan. Ketika kita memasuki ruang kehidupan, setiap waktu selalu menghadirkan pilihan. Aneka pilihan yang terhampar mengajak setiap diri kita untuk memberanikan diri menentukan keputusan. Entah tepat atau tidak, keputusan atas pilihan juga menghendaki setiap diri kita untuk berani menghadapi konsekuensinya.
Di atas perjalanan hidup, setiap diri kita memutuskan pilihan. Kendati demikian, pilihan kita tak selamanya harus bertahan. Ada kalanya setiap diri kita menyadari ketidaktepatan pilihan dan kemudian memutar haluan. Hal ini bukan berarti kita kurang berpegang teguh pada pilihan, namun menandakan proses mencaritemukan pilihan tepat yang tak berhenti seiring perjalanan hidup kita.

Antara pilihan dan keteguhan sikap itu ada sebuah keberanian. Keteguhan sikap ini bukan melulu bertahan pada pilihan. Jika pun pilihan yang telah diputuskan tidaklah tepat , keputusan untuk mengambil pilihan lain juga sebentuk keberanian. Dalam menjalani kehidupan, setiap diri kita memang dituntut memiliki keberanian mencaritemukan pilihan terbaik, pilihan yang benar-benar terbaik.
Setiap keputusan atas pilihan kita tentu telah dipikirkan. Dalam setiap keputusan atas pilihan itulah tersimpan cita-cita besar. Lebih dari itu, kehidupan adalah kenyataan. Jika kenyataan dalam kehidupan ini menyodorkan pilihan-pilihan, keputusan kita untuk memilih berjuang adalah hal utama.
Sekali lagi, keputusan untuk memilih dan keteguhan sikap atas pilihan adalah sebentuk keberanian. Begitu pula keberanian kita untuk mencaritemukan dan mengambil pilihan dengan segenap konsekuensinya. Dari keberanian-keberanian itu, sikap dasar yang perlu kita miliki adalah keberanian kita untuk berjuang dalam setiap keputusan atas pilihan kita.
Ya, di setiap medan kehidupan ini, setiap diri kita adalah pejuang. Pejuang yang berani mencaritemukan dan berpegang teguh pada pilihan terbaik untuk kemudian tak surut mewujudkan segala mimpi dan cita-cita.
Ya, kita adalah pejuang dalam hidup ini. Kewajiban asasi seorang pejuang, berjuang lagi tanpa pernah redup. Di jalan utama tak surut berjuang meskipun harus terkapar meraih cita. Kepada masing-masing diri kita, salam perjuangan. (*)
HENDRA SUGIANTORO
(Rumah Pena Yogyakarta)

Korupsi, Mentalitas, dan Pendidikan Anak

BERITA-berita mengenai kasus korupsi senantiasa mencuat dan menampilkan watak sebenarnya dari elite pejabat. Perilaku korupsi di negeri ini memang telah menyatupadu dalam denyut nadi birokrasi dan karenanya tuntutan pemberantasan korupsi tidaklah seketika dapat dirasakan keberhasilannya. Dibutuhkan proses panjang untuk memberantas korupsi sebagaimana perilaku korupsi tertanam di negeri ini dalam rentang waktu yang panjang pula.

Untuk itu, kesabaran dan konsistensi jelas amat dibutuhkan agar pemberantasan korupsi dapat menuai keberhasilan. Dalam rentang waktu sepuluh tahun reformasi yang salah satu isunya pemberantasan korupsi, kita boleh jadi bangga sekaligus tetap menyimpan optimisme. Pada tahun ini Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Penilaian Transparency International itu yang merupakan kumpulan dari survei beberapa lembaga riset seperti Asian Development Bank (ADB), Bank Dunia, dan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia di peringkat 126 dengan skor 2,6.

Jika mau jujur, peningkatan IPK Indonesia pada tahun ini tidak terlepas dari adanya kepastian hukum. Prestasi lembaga penegak hukum terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) boleh dinilai mengagumkan dengan ditangkapnya sejumlah elite pejabat yang diindikasikan korupsi. Tidak hanya itu, KPK juga tak segan menangkap para pengusaha yang kongkalingkong dengan tender. Pelayanan publik di instansi pemerintahan bisa dikatakan mulai menerapkan praktik good governance meskipun tidak seluruhnya. Memang masih butuh proses berkelanjutan untuk dapat mereformasi birokrasi sehingga tercipta tatanan pemerintahan yang bersih dan akuntabel di pusat maupun daerah. Penegakan hukum di kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman juga selayaknya perlu ditingkatkan. Kasus adanya jaksa menerima suap diharapkan tidak terjadi untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.

Membentuk Perilaku Antikorupsi

Siapapun tak memungkiri jika korupsi tidak terlepas dari persoalan mentalitas. Selain persoalan mentalitas, persoalan sistem yang koruptif juga memberikan pengaruh. Maka, agar kerja pemberantasan korupsi dapat berjalan baik, persoalan sistem dan mentalitas manusia perlu diatasi. Artinya, pemberantasan korupsi tidak sekadar membangun sistem, tapi juga memperbaiki mentalitas manusia. Disadari atau tidak, jika mentalitas korupsi masih tertanam kuat, maka perilaku korupsi akan terus tumbuh. Yang terjadi jika mentalitas korupsi masih tertanam bukannya menghilangkan perilaku korupsi, tapi malah bersiasat menghindari perilaku korupsi dari jeratan hukum. Mentalitas korupsi yang justru membuat perilaku korupsi tidak seperti korupsi. Dengan kelihaiannya, manusia yang memiliki mentalitas korupsi bisa memoles perilaku korupsi menjadi perilaku yang wajar. Menurut Aspiannor Masrie (2007), praktik korupsi tumbuh subur karena adanya sikap mental yang malas, tidak mau bekerja keras, dan selalu mengambil jalan pintas. Selain itu, budaya masyarakat materialistis dengan memandang sesuatu dari benda yang dimiliki tanpa pernah bertanya darimana semuanya didapat merupakan sikap mental bersifat pragmatis dan menjadi pemicu suburnya praktik korupsi. Lalu, apa yang mesti dilakukan untuk membentuk perilaku antikorupsi dan melenyapkan mentalitas yang dikatakan pragmatis itu?

Pada titik ini, pendidikan tetap memegang peranan penting untuk membentuk perilaku antikorupsi. Orang tua dan guru memiliki tanggung jawab yang tidak ringan. Orang tua dan guru adalah pendidik yang seyogianya menjadi referensi bagi anak belajar berperilaku antikorupsi dan menghilangkan mentalitas pragmatis. Ada dua titik tekan untuk mendidik anak agar tidak melakukan perbuatan korupsi, yakni pengajaran dan pembiasaan. Pengajaran merupakan pendidikan dalam dimensi teoritis dan pembiasaan merupakan pendidikan dalam dimensi praktis. Pengajaran dan pembiasaan perlu berjalan beriringan karena pendidikan tidak cukup berhenti pada aspek pengetahuan, tapi juga mengarah pada pembentukan sikap dan perilaku. Anak perlu dibiasakan dengan mentalitas kerja keras dalam kehidupan kesehariannya. Pengajaran antikorupsi bisa dilakukan orang tua dan guru dengan menerangkan perilaku mulia dan perilaku tidak mulia. Korupsi adalah haram menurut bahasa agama dan tidak pantas dilakukan. Orang tua dan guru jelas perlu menanamkan pengertian tersebut kepada anak agar menghindari perilaku haram korupsi. Jika orang tua suatu ketika menyuruh anaknya berbelanja, anak perlu dibiasakan untuk melaporkan pengeluaran dari belanjanya. Di sekolah, adanya kantin kejujuran yang mulai digiatkan akhir-akhir ini merupakan metode dari pembiasaan yang harapannya bisa berimbas positif untuk membentuk perilaku antikorupsi. Metode pembiasaan lainnya tentu masih banyak lagi yang bisa diterapkan orang tua di rumah dan guru di sekolah.

Pastinya, inti dari pengajaran dan pembiasaan tersebut adalah membentuk perilaku antikorupsi pada diri anak. Sebagai generasi masa depan, anak memang perlu mendapatkan pendidikan moral secara baik. Perilaku ketidakjujuran dalam menempuh pendidikan di sekolah selayaknya dihindari. Kita sebut saja kasus kecurangan yang kerap mencuat dalam ujian nasional yang tanpa disadari membentuk mentalitas jalan pintas pada diri anak ketika kelak menginjak dewasa. Sisi lain yang juga perlu diperhatikan oleh orang tua dan guru adalah keteladanan. Kecenderungan anak meniru perilaku dari orang yang lebih tua menghendaki keteladanan dari orang tua di rumah dan guru di sekolah. Seperti dikatakan Husni Adham Jaror (2004) bahwa keteladanan memainkan peranan penting dalam mengarahkan perilaku anak. Keteladanan dari pendidik (orang tua dan guru) adalah contoh tertinggi dalam pandangan anak yang sedang tumbuh. Untuk itu, jika tokoh-tokoh di luar lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah kurang memberikan keteladanan positif, maka saatnya kini memberikan keteladanan itu dari lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah sebagai lingkungan terdekat. Orang tua dan guru perlu memberi contoh perilaku antikorupsi agar anak melihat secara nyata perilaku antikorupsi itu dari orang tua dan gurunya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 7/12/2008

Perubahan, Tren Janji Kampanye

KEMENANGAN Barack Hussein Obama (47) dalam pemilihan presiden Amerika Serikat mampu menyita perhatian publik. Tidak hanya masyarakat AS, masyarakat di luar AS pun terbalut kegembiraan yang mengharubiru. Apalagi di Indonesia, kemenangan presiden dari Partai Demokrat itu disambut keceriaan sekaligus kebanggaan. Bagaimana tidak bangga, Barack Obama yang kini menjadi Presiden AS ke-44 itu pernah hidup di Indonesia.

Jargon perubahan yang disuarakan Obama memang diakui mampu menyedot antusiasme masyarakat AS yang tengah dilanda pesimisme akibat dampak kebijakan Bush. Krisis keuangan yang melanda AS setidaknya menambah kerinduan bagi masyarakat AS untuk sesegera mungkin menghadirkan wajah baru. Tak ada tawaran lain, Obama adalah wajah baru itu yang diharapkan mampu mengatasi krisis agar AS tidak terjerembab dalam keterpurukan. Harapan itu masih ada. Masyarakat AS pun berharap kepada Obama, sosok berkulit hitam yang pertama kali mampu menjadi presiden setelah dua abad lebih diduduki presiden berkulit putih.

Disadari atau tidak, setiap kampanye di negara manapun selalu menghasung sebuah tema perubahan. Seperti dilakukan Obama, kampanye calon presiden dan calon anggota legislatif di negeri ini juga mengangkat isu perubahan untuk mempengaruhi publik. Ketika Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla berhasil unggul di putaran kedua dalam pemilihan presiden pada 2004 silam, masyarakat Indonesia pun begitu gegap gempita. Kemenangan dengan perolehan prosentase lebih dari 50 % atas pasangan Megawati-Hasyim Muzadi menegaskan dukungan signifikan masyarakat. Seperti Obama yang membius masyarakat AS dengan kalimat ”Yes We Can”, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla meneriakkan ”Bersama Kita Bisa”. Harapan masyarakat AS atas Obama juga dirasakan masyarakat Indonesia sekitar empat tahun lalu. Bedanya, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tidak diharapkan hampir seluruh dunia seperti Obama.

Tentu saja, siapa pun sulit memastikan apakah AS di tangan Obama akan menghadirkan perubahan-perubahan berarti. Masih perlu bukti lebih lanjut dari Obama terkait janji perubahannya selama kampanye. Begitu pun kampanye di negeri ini tidak menjamin apa yang dijanjikan para politisi akan berwujud nyata. Lantas, apa yang akan membedakan setiap kampanye yang selalu mengarusutamakan perubahan?

Jawabannya adalah bukti nyata. Tidak sekadar ucapan, tapi realisasi di lapangan ketika terpilih menduduki kursi kekuasaan. Dalam masa kampanye begitu sering janji-janji diumbar di depan publik, tapi apakah politisi akan mewujudkan janji itu di alam realitas? Yang jelas, masyarakat di negeri ini sudah terasa jenuh menikmati demokrasi yang tidak berdampak positif. Demokrasi yang terkesan hanya hiruk-pikuk pemilihan tanpa berbanding lurus dengan perbaikan taraf hidup masyarakat pada akhirnya berujung apatisme. Pada titik tertentu, masyarakat tidak begitu menghiraukan persoalan politik karena sudah merasa masa bodoh dengan wacana politik yang ada. Fenomena golput yang mencuat dalam pemilihan kepala daerah setidaknya menegaskan ketidaksetujuan masyarakat terhadap demokrasi yang hanya sebagai alat untuk menyejahterakan kaum elite. Lewat golput, masyarakat melakukan kritik terhadap demokrasi yang diselenggarakan bukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Pengungkapan janji-janji dalam kampanye memang tidak dilarang. Politisi di negeri ini berhak mengungkapkan apapun yang merupakan idealita kepada masyarakat. Yang menjadi persoalan adalah ketika janji-janji yang disodorkan dalam kampanye bukan dijadikan pengikat komitmen untuk diterjemahkan secara nyata. Dengan kata lain, janji-janji selama kampanye sekadar manis di bibir belaka.

Pastinya, tujuan perebutan pengaruh agar memiliki suara signifikan dalam ajang pemilu merupakan keniscayaan. Namun demikian, perebutan suara bukan berarti menghendaki janji-janji kampanye yang tidak terukur. Mendengar janji pengentasan penduduk dari kemiskinan memang menimbulkan rasa senang masyarakat, tapi politisi lupa bahwa mengurangi tingkat kemiskinan di negeri ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ketika politisi menjanjikan itu, masyarakat tentu saja berpikir bahwa kemiskinan akan teratasi segera. Pun, pendidikan akan murah dan kesehatan akan terjamin dengan waktu yang secepatnya. Menghadapi musim kampanye yang akan ”memanas” ke depan, parpol seyogianya membangun kesadaran politisi atau juru kampanyenya untuk tidak mudah membuat janji-janji kepada masyarakat. Alangkah lebih baik jika kampanye berisi informasi objektif kondisi Indonesia agar masyarakat juga dibelajarkan memahami realitas faktual. Politisi perlu mengajak masyarakat untuk membangun visi dan spirit bersama terkait masa depan Indonesia.

Kini sudah saatnya bagi politisi untuk menghayati kembali peran politiknya. Politik memang identik dengan kekuasaan, namun kekuasaan bukanlah tujuan utama. Kemiskinan, pengangguran, hak asasi manusia, dan pendidikan bukanlah komoditas politik yang dijual murah lewat buaian-buaian janji di hadapan rakyat. Politisi selayaknya sudah menyadari bahwa membangun kehidupan bangsa dan negara adalah kewajiban sekaligus keharusan. Artinya, berpikir, berjuang, dan berkarya bagi kebangunan dan keberlanjutan negeri ini sudah dengan sendirinya merupakan kewajiban bagi politisi tanpa harus dikampanyekan di hadapan rakyat.

Yang perlu diingat, para pendiri negeri ini sudah meletakkan visi besar untuk Indonesia, yakni terwujudnya negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan visi itu, politisi harus menyadari tujuan dari didirikannya pemerintahan negara ini, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sekali lagi, tanpa dikampanyekan pun, politisi seharusnya sudah memahami tugas dan kewajiban tersebut. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 2/12/08

Lindungi Anak dari Pornografi

Siapa pun yang berpikir jernih dan bening akan mengatakan bahwa pornografi memberikan efek buruk bagi perkembangan anak-anak. Sebenarnya tidak hanya anak-anak, orang-orang berusia tua pun bisa kena dampak dari terpaan pornografi. Lihat saja berita-berita kriminal di media cetak maupun elektronik, setiap saat selalu dijumpai kasus-kasus kriminalitas yang berkaitan dengan eksploitasi seksual. Ada seorang kakek memperkosa, ayah kandung menyetubuhi anaknya, anak tingkat SD sudah berani ngeseks ria, bahkan seorang guru mencabuli siswi didiknya. Dihitung secara kuantitas, kasus-kasus seperti itu tak sulit dihitung dengan jari.

Di sisi lain, peredaran dan penjualan VCD beraroma porno juga marak dan gawatnya merambah sampai anak-anak kecil. Tentu hati kita terasa miris ketika ada anak seusia SD-SMA melakukan perkosaan terhadap lawan jenis. Atau malah antarlawan jenis main ranjang karena suka sama suka, melakukan seks gaya bebas. Mereka sering kali mengungkapkan alasan melakukan itu karena menonton “film-film biru”. Pada simpul ini, kita ketahui bahwa VCD dan film-film yang berbau porno memberikan pengaruh bagi alam pikiran anak-anak.

Memang tak bisa kita mungkiri jika perkembangan industri pornografi di negeri ini begitu pesat. Hampir setiap saat dijumpai tayangan-tayangan yang melakukan pengeksploitasian secara seksual yang tanpa disadari ditonton anak-anak yang belum cukup usia. Pada titik ini, anak-anak kita ternyata belum mendapatkan perlindungan maksimal dari lingkungan sekitar. Anak-anak kita belum sepenuhnya bebas dari bahaya pornografi. Dari berbagai penelitian terkait media dan komunikasi publik, tayangan dan tontonan yang terus-menerus disaksikan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku. Seperti kasus kekerasan antarsiswa di sekolah ala smackdown yang pernah menghebohkan dunia pendidikan, itu diakibatkan tayangan yang disaksikan berulang-ulang. Pun, pada tayangan-tayangan berbau pornografi dan pengeksploitasian seksual bisa juga memberi dampak yang sama. Jika pada tayangan smackdown bisa berakibat “liar”, sungguh bukan harapan kita jika anak-anak kecil memiliki hobi ngeseks antarlawan jenis karena seringnya menonton tayangan-tayangan yang mengumbar seks.

Maka, tak ada jalan lain kecuali kesadaran segenap pihak untuk melindungi anak-anak dari bahaya pornografi dan seks yang diumbar bebas. Orangtua perlu memantau perkembangan anak-anaknya dan menaruh perhatian seksama. Ada tanggung jawab orang tua yang tidak boleh dilalaikan untuk mendidik anak-anaknya agar mengetahui mana perilaku yang benar dan mana perilaku yang salah, mana perilaku yang susila dan mana yang asusila. Mengontrol tontonan layar kaca yang disaksikan anak juga perlu dilakukan. Tak sekadar itu, orang tua semestinya juga memberikan pemahaman terhadap anak, menjelaskan kepada anak setiap apa yang ditonton di layar kaca. Kasih sayang dan perhatian orang tua terhadap anak yang proporsional menjadi sebuah keniscayaan untuk mencegah anak dari perilaku menyimpang.

Di lain pihak, industri komunikasi dan media perlu segera sadar bahwa fungsi pers tidak sekadar mencari laba semata, tapi ada juga fungsi pendidikan dalam siaran dan penayangannya. Pers yang sering kali disebut sebagai kekuatan keempat demokrasi harus menyadari perannya untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, mencerahkan pikiran dan perilaku anak-anak bangsa sebagai generasi masa depan.

Tegasnya, kepedulian segenap pihak untuk melindungi anak dari terpaan pornografi perlu segera dilakukan. Pihak sekolah perlu menanamkan nilai-nilai moral dan kesusilaan terhadap peserta didik. Pendidikan agama yang diberikan di sekolah harapannya bisa menyentuh kesadaran peserta didik sehingga memiliki perilaku mulia dan cerdas dalam memfilter arus budaya dari luar. Piranti moral perlu dimiliki anak sehingga dapat membedakan mana yang positif dan mana yang negatif.

Kini sudah saatnya kita melindungi anak-anak sebagai generasi masa depan bangsa dari pengaruh buruk pornografi. Tanggung jawab melindungi anak-anak berada di pundak orang tua, sekolah, masyarakat, pemerintah, dan institusi-institusi nonpemerintah yang memang peduli bahwa baik buruknya Indonesia ke depan ditentukan oleh generasi masa kini. Kita tentu saja tak ingin menyaksikan anak-anak kecil lebih suka gambar dan tayangan porno ketimbang melahap buku bacaan. Kita tak ingin anak-anak sekolah lupa menuntut ilmu dan memperkaya wawasan pengetahuan karena terlalu nyamannya berhubungan bebas antarlawan jenis. Kita tak ingin melihat ada anak-anak kita “porno-pornoan” di sembarang tempat dan di tempat-tempat gelap. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 31/10/08

Budaya Masa Depan: Antikorupsi

MENDENGAR kata korupsi mungkin membuat jenuh. Maraknya pemberitaan korupsi yang menimpa pejabat negara dan anggota parlemen tentu saja kian membuat pedih masyarakat. Masyarakat seakan-akan dibuat pesimis sekaligus apatis terhadap kinerja pemerintah dan wakilnya di gedung parlemen.

Pastinya, upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti. Memang harus begitu. Betapa pun penyakit korupsi begitu akut menjangkiti ruang-ruang birokrasi di negeri ini, komitmen pemberantasan korupsi harus senantiasa dihunjamkan. Kerja nyata pemberantasan korupsi mutlak dilakukan demi menyelamatkan negeri ini. Hal ini jelas karena korupsi adalah penyebab tidak optimalnya pengalokasian anggaran negara bagi kemaslahatan rakyat. Anggaran negara yang seharusnya dipergunakan sebagaimana mestinya justru dilahap oleh oknum-oknum tak tahu malu. Tak tahu malu karena begitu teganya mengkorupsi harta negara di tengah jerit derita rakyat yang masih terpontang-panting sekadar untuk mencukupi kebutuhan dasarnya.

Korupsi jelas harus diberantas sebelum negeri ini kolaps. Dampak besar dari perilaku negatif korupsi sungguh tak bisa dianggap biasa. Kemiskinan, kelaparan ataupun tak teraksesnya bangku sekolah secara tidak langsung merupakan dampak dari merajalelanya korupsi. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), genderang perang terhadap korupsi mutlak harus ditabuh. Tentu saja, selain pemerintah, pemberantasan korupsi juga menjadi tanggung jawab moral seluruh warga bangsa. Siapa pun kita memang memiliki tanggung jawab moral untuk memberantas korupsi. Yuddy Chrisnandi (2008) dalam bukunya ”Beyond Parlemen” menyebut korupsi sebagai bagian dari 5 K yang harus diperangi segera.

Terkait upaya memerangi korupsi, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang agak ganas perlu kita apresiasi. Meskipun masih mengemuka anggapan belum menyentuh kasus korupsi dalam skala besar, kinerja KPK tetap menunjukkan prestasi sebagai lembaga negara yang ditugasi menangani kasus korupsi. Penegakan hukum yang memberikan efek jera tentu saja tak boleh dilupakan. Harus diakui jika selama ini para koruptor tidak merasa bersalah telah melakukan kejahatan korupsi. Hukuman yang terlalu ringan atau tidak maksimal adalah salah satu sebab tidak jeranya pelaku korupsi untuk menghentikan perbuatannya.

Sebagaimana dimengerti, perang mengindetikkan perlawanan antara dua pihak. Satu pihak di antara dua pihak itu adalah korupsi (dan manusia-manusia pendukungnya). Adapun pihak satunya adalah manusia-manusia antikorupsi. Perang terhadap korupsi tidak selalu dimaknai bersifat ofensif. Pencegahan terhadap tindakan korupsi juga bagian dari bentuk perang terhadap korupsi. Pada titik ini, ada baiknya kita mengkaitkan korupsi dengan individu manusia. Pelaku korupsi jelas manusia. Dengan kata lain, ada tidaknya korupsi tergantung dari manusianya. Jika manusianya bersih dan takut korupsi, maka negeri ini akan bersih dari korupsi. Lantas, bagaimana membentuk manusia yang antikorupsi? Manusia antikorupsi yang berangkat dari kesadaran organis, bukan sekadar karena takut dengan hukuman?

Pembentukan manusia yang antikorupsi tentu tidak dapat dilepaskan dari tugas penting dunia pendidikan. Tidak hanya pendidikan di sekolah, pendidikan dalam keluarga juga memegang peranan yang tak boleh dipandang sebelah mata. Ada pertanyaan yang layak kita renungkan, kalau memang korupsi di negeri ini tumbuh akibat dibiasakan dan selanjutnya menjadi budaya, mengapa kita tidak menciptakan kebiasaan antikorupsi untuk menjadi budaya masa depan?

Menciptakan kebiasaan antikorupsi melalui proses pendidikan sebenarnya sudah dilakukan. Istilah pendidikan antikorupsi sudah lama didengungkan dalam dunia pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan antikorupsi yang dilakukan beberapa sekolah adalah dengan membentuk kantin/warung/koperasi kejujuran. Tujuan dari kantin/warung/koperasi kejujuran ini tak lain untuk menanamkan budaya antikorupsi kepada siswa. Mekanismenya, siswa yang membeli di kantin/warung/koperasi kejujuran tidak perlu diawasi, tapi langsung membayar sendiri sesuai jumlah harga pembelian. Uang pembelian itu dimasukkan ke dalam tempat uang yang memang sengaja diletakkan di kantin/warung/koperasi kejujuran. Jika uang pemasukan ternyata lebih sedikit dari yang seharusnya, maka siswa diketahui telah bertindak tidak jujur. Terlebih dahulu, siswa memang dipahamkan bahwa ketidakjujuran mereka berakibat kerugian bagi kantin/warung/koperasi. Itu juga berarti kerugian bagi mereka karena modal untuk membeli barang kebutuhan kantin/warung/koperasi menjadi seret. Yang jelas, upaya membentuk kantin/warung/koperasi kejujuran di sekolah dapat dikategorikan sebagai bentuk perang terhadap korupsi.

Selain itu, perang terhadap korupsi tentu banyak ragamnya. Tak bisa dilupakan adalah peran dan tanggung jawab keluarga untuk mendidik anak agar antikorupsi. Menyuruh anak berbelanja dan mengembalikan uang kembalian dari belanja, misalnya, adalah salah satu contoh yang bisa diterapkan. Tidak dimungkiri jika ada orang tua yang membiarkan saja uang kembalian belanja karena hanya tak seberapa. Namun, seratus rupiah saja uang kembalian belanja yang dianggap sepele bisa membentuk mentalitas anak ketika bekerja. Tak menjadi soal jika uang kembalian itu diberikan lagi ke anak, namun anak hendaknya dibiasakan melaporkan uang pengeluaran dan uang kembalian dari belanja untuk membentuk sikap disiplin yang tentu bermanfaat bagi anak di hari depan.

Menurut penulis, membentuk mentalitas antikorupsi melalui pendidikan di lingkungan sekolah dan di lingkungan keluarga harapannya terus dijalankan. Selain apa yang diutarakan di atas, upaya pendidikan untuk membentuk mentalitas antikorupsi tentu masih banyak lagi. Pendidikan antikorupsi bagi anak-anak negeri yang masih menimba pendidikan, pendekatan diarahkan pada pembentukan moralitas serta penguatan kesadaran sosial, termasuk pembentukan mentalitas dan karakter yang bersih dari perilaku dan tindakan koruptif. Dengan demikian, ketika menjadi pejabat kelak di kemudian hari, mereka tidak melakukan korupsi. Mereka menjadi pejabat yang betul-betul bekerja untuk rakyat (pamong praja). Menggunakan uang negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa (Moh Yamin: 2008).

Pungkasnya, perang terhadap korupsi secara ofensif yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan memang selayaknya dilakukan untuk menjerat koruptor. Namun, di sisi lain, kita berkewajiban mendidik anak/siswa di masa kini agar bersih dari korupsi. Kebiasaan antikorupsi yang ditanamkan kepada anak/siswa pada saat ini akan menjadi budaya Indonesia di masa depan, yakni budaya Indonesia yang antikorupsi. Tugas mendesak kita adalah melahirkan generasi masa kini yang memiliki budaya antikorupsi untuk masa depan Indonesia . Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO

Menimbang Peluang Pemimpin Alternatif

PERUBAHAN merupakan dambaan setiap rakyat. Perubahan itu tentu menuju pada keadaan yang lebih baik. Rakyat akan memilih seorang pemimpin jika pemimpin itu bisa membawa perubahan. Karena jargon perubahan yang senantiasa didengungkan, Obama pun tampil sebagai presiden kulit hitam pertama di negeri Amerika Serikat (AS) dalam usia 47 tahun. Begitu pun di negeri ini, rakyat sebenarnya juga merindukan perubahan.

Melihat pemilihan presiden AS, peluang munculnya tokoh-tokoh alternatif memang terbuka lebar dengan adanya konvensi di setiap partai di negeri itu, baik Partai Demokrat maupun Partai Republik. Sebelum naik menjadi Presiden AS ke-44, Obama harus melewati kompetisi yang ketat bersama kandidat-kandidat lainnya dari Partai Demokrat. Dengan dasar kapabilitas, integritas, serta visi yang kuat, Obama pun terpilih menjadi capres untuk bersaing dengan capres dari Partai Republik. Pertanyaannya, apakah kondisi di AS dapat terjadi di “negeri multi partai” Indonesia ini?

Tampilnya pemimpin muda seperti Obama harus diakui tak begitu mudah. Di negeri ini, parpol yang ada selalu bertumpu pada tokoh-tokoh tua berwajah lama dan kurang memberikan peluang kepada tokoh-tokoh berwajah baru. Tokoh-tokoh muda sepertinya tak kuasa berhadapan dengan hegemoni tokoh-tokoh tua di dalam parpol. Untuk memunculkan pemimpin alternatif dalam Pilpres 2009 sepertinya masih jauh dari harapan. Meskipun demikian, karena politik penuh dengan kemungkinan, peluang munculnya pemimpin alternatif belum tertutup sama sekali. Lantas, apa kriteria dari pemimpin alternatif yang dimaksud?

Sampai detik ini ada sejumlah nama yang akan atau dimungkinkan mencalonkan diri menjadi capres. Nama-nama itu sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Sri Sultan HB X, Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, M Fadjroel Rachman, Rizal Mallarangeng, bahkan Yuddy Chrisnandi. Meskipun belum pasti maju, nama-nama tersebut sudah berterus terang siap memimpin Indonesia di periode mendatang. Adapun nama-nama lainnya ada Soetrisno Bachir, Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, dan Amien Rais. Dari sederet nama itu, adakah pemimpin alternatif yang bisa dinaikkan? Menurut penulis, pemimpin alternatif adalah tokoh yang belum terkontaminasi kekuasaan lama. Ini didasarkan asumsi bahwa tokoh yang pernah masuk dalam kekuasaan sebelumnya merupakan representasi ide-ide konservatif yang sulit membawa perubahan. Dengan kata lain, pemimpin alternatif adalah tokoh berwajah baru dan segar. Tidak mempersoalkan berusia muda atau tua, pemimpin alternatif ini yang jelas adalah tokoh yang menghasung ide-ide progresif. Adapun tokoh progresif cenderung identik dengan tokoh yang belum pernah memasuki lingkaran kekuasaan Jakarta sebelumnya. Pemimpin alternatif adalah sosok yang tidak terlibat atau diindikasikan terlibat dalam korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu.

Melihat kemungkinan peta pencalonan presiden, pemimpin alternatif sebenarnya cukup banyak. Jika ukuran pemimpin alternatif adalah tokoh-tokoh muda, ada banyak pilihan seperti Hidayat Nur Wahid, Fadjroel Rachman, Yuddy Chrisnandi, dan tokoh-tokoh muda lainnya. Jika ukurannya adalah tokoh yang belum terkontaminasi kekuasaan di pusat, tokoh itu salah satunya adalah Sri Sultan HB X yang sudah menyatakan kesiapannya menjadi Presiden 2009.

Tentu saja, jika tampilnya pemimpin alternatif merupakan aspirasi rakyat, parpol seyogianya bisa mengusahakannya. Karena PDIP dan Partai Demokrat (PD) sudah pasti mengusung Megawati dan SBY, maka parpol yang harus mengusahakannya adalah parpol menengah ke bawah. Dengan ketentuan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara dalam pemilu legislatif, peluang munculnya pemimpin alternatif masih memungkinkan jika parpol-parpol menengah ke bawah sudi melakukan koalisi. Sebut saja PKB, PAN, PKS, dan PPP yang bisa berkoalisi karena peluang keempat parpol itu memiliki jumlah suara sekitar 5% masih memungkinkan. Jika itu terjadi, maka pemimpin alternatif bisa muncul dan ikut bersaing dalam Pilpres 2009. Yang menarik di sini adalah posisi Partai Golkar. Tak bisa dimungkiri jika Partai Golkar memainkan “kartu as”. Partai Golkar bisa memperkuat kehadiran pemimpin alternatif jika ikut dalam koalisi parpol menengah ke bawah dengan catatan tidak mengusung Jusuf Kalla. Itu juga berarti SBY dimungkinkan bisa mengalami nasib buruk tidak bisa tampil dalam Pilpres 2009 karena perolehan suara PD diperkirakan masih sulit menembus 20%. Jika PD mau ikut berkoalisi, tentu saja harus merelakan kursi RI-1 bukan pada SBY. Lantas, apakah skenario seperti itu bakal terjadi?

Koalisi antarparpol menengah ke bawah dimungkinkan sulit terwujud jika tidak memiliki kesamaan misi menaikkan tokoh alternatif. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tentu tetap mempertahankan posisi Wiranto sebagai capres. Jika persyaratan jumlah suara tidak mencapai 20%, koalisi akan ditempuh Partai Hanura. Hal yang sama akan ditempuh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mengusung “panglima perang” Prabowo Subianto. Dua sosok mantan militer dari dua parpol berbeda itu tentu bukanlah kriteria pemimpin alternatif karena keduanya pernah terlibat dalam kekuasaan sebelumnya.

Dengan segala kemungkinan, pemimpin alternatif masih bisa diharapkan asalkan parpol menengah seperti PAN, PKB, PKS, dan PPP tidak merapat ke PDIP, PD, atau Partai Golkar. Lebih penting lagi, koalisi parpol menengah ke bawah jangan sekadar menaikkan calon pemimpin, tapi harus memiliki agenda yang jelas. Agenda perubahan harus menjadi titik pijak dalam menentukan pemimpin alternatif yang nantinya akan diusung dalam Pilpres 2009. Kontrak politik dengan pemimpin alternatif perlu dilakukan untuk menghasung agenda-agenda perubahan selama memerintah. Kerangka agenda perubahan tetap mengacu pada amanat konstitusi, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Yang juga perlu diperhatikan, koalisi antarparpol menengah ke bawah harus mampu menjaga konsistensi di dalam parlemen untuk memperkuat posisi pemimpin alternatif ketika berhasil menduduki kursi RI-1. Pastinya, politik adalah seni ketidakmungkinan. Bukankah apapun bisa saja terjadi dalam politik? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 28/10/08

Keluarga dan Pendidikan Anak

Persoalan anak-anak pada zaman kini lebih kompleks ketimbang di zaman lampau. Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi memberikan pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak. Anak tidak sekadar menjadikan guru di kelas sebagai sumber belajar, tapi juga setiap teknologi informasi menjadi sumber belajar yang sering kali lebih efektif daripada sumber belajar berupa manusia (orang tua/guru). Pengaruh dari teknologi informasi bisa positif ataupun negatif yang tentu saja mampu membentuk sikap dan perilaku anak.

Tentu saja, imbas positif dari teknologi informasi menjadi harapan segenap pihak. Namun, adanya perilaku negatif yang dilakukan anak sudah tidak dimungkiri lagi, bahkan perilaku itu memprihatinkan. Kita sering kali menyaksikan berita kriminal yang justru dilakukan anak-anak seusia sekolah, seperti pencurian, pemerkosaan, dan lainnya. Kasus kekerasan yang dilakukan anak-anak sekolah tidak sulit lagi dicari di era kini. Ada anak yang belajar kekerasan dari televisi sehingga kehilangan empati terhadap penderitaan orang lain. Dari tontonan, ada anak laki-laki seusia SD-SMP berani melakukan pencabulan terhadap anak perempuan yang masih balita. Begitu pun perilaku seks bebas dilakukan anak-anak usia sekolah, tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa. Pastinya, perilaku kurang mulia lainnya masih cukup banyak yang dilakukan anak-anak.

Menyaksikan fenomena tersebut sering kali yang menjadi kambing hitam adalah pihak sekolah. Sekolah dikatakan tidak mampu mendidik siswa-siswanya secara baik. Anggapan seperti itu ada benarnya meskipun tidak sepenuhnya tepat. Artinya, pihak keluarga selayaknya juga melakukan introspeksi terkait perilaku anak yang cenderung negatif. Pasalnya, pendidikan anak tidak mutlak berada di tangan sekolah, tapi juga keluarga. Jika anak tidak memiliki akhlak mulia, maka pihak keluarga tak bisa abai terhadap kondisi anak.

Pihak keluarga jelas merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Selain pendidikan formal, ada pendidikan yang sifatnya nonformal dan informal. Pihak keluarga sebagai institusi pendidikan informal juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai tempat pertama anak-anak hidup dan berinteraksi, sebagaimana pernah dituturkan Ki Hajar Dewantara, keluarga memiliki peranan penting dalam proses tumbuh kembang anak, terutama pada masa-masa awal atau dimana anak dengan mudah menerima rangsang atau pengaruh dari lingkungan. Pendidikan anak memang menjadi sangat penting, lebih khusus lagi pada usia dini. Pada usia antara 0-6 tahun itu, menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan kreativitas, dan perkembangan moral.

Disadari atau tidak, penyerahan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah justru telah menggejala dewasa ini. Lemahnya peran keluarga dalam membina dan membangun kehidupan anak yang lebih baik, kata Deni Al-Asy’ari (2007), tidak terlepas dari fungsi keluarga yang direduksi sebatas fungsi reproduksi, materialistik, seks, dan status sosial semata. Orang tua memperhatikan pendidikan anak sekadar menanyakan prestasi belajar di sekolah yang sifatnya kuantitatif. Asalkan bisa membiayai anak-anaknya menempuh bangku sekolah, orang tua sudah merasa bangga dan tugasnya selesai. Padahal, pendidikan di sekolah tidak bisa mengembangkan kualitas anak seutuhnya tanpa kerja sama dari pihak keluarga. Harus jujur diakui jika tuntutan kurikulum yang harus diselesaikan setiap semester membuat guru lebih menonjolkan pengembangan kecerdasan kognisi. Itu artinya pengembangan kecerdasan emosi, sosial, dan moral anak di bangku sekolah sedikit didapatkan.

Pentingnya pendidikan dalam keluarga ini seyogianya menyadarkan orang tua untuk dapat menjalin komunikasi seintensif mungkin. Perilaku kurang mulia anak sering kali diakibatkan kondisi kehidupan keluarganya yang tidak stabil. Di era kini, orang tua sering kali lebih disibukkan urusan mencari uang sehingga melupakan jalinan emosi dan komunikasi dengan anak-anak di rumah. Padahal, sentuhan emosi dan komunikasi dapat menyebabkan anak merasakan kehangatan dan perhatian orang tua yang dapat mencegah anak melakukan pelarian ke hal-hal negatif. Keluarga sudah saatnya menjadi tempat keluh kesah bagi anak ketika menghadapi permasalahan di dunia luar.

Pungkasnya sudah saatnya pihak keluarga mengambil peran dalam mendidik anak-anaknya. Bagaimana pun, tak bisa dimungkiri jika inti dari proses pendidikan adalah menggarap individu manusia. Pendidikan adalah seni membentuk manusia, kata Anis Matta yang merangkum seluruh definisi pendidikan. Membentuk individu manusia tidak hanya tanggung jawab pihak sekolah, tapi juga pihak keluarga. Anak dalam kehidupan keluarga perlu ditanamkan nilai-nilai agar mampu menghadapi realitas kehidupan dengan kepemilikan kepribadian yang tangguh. Anak dalam kehidupan keluarga merupakan amanah yang memang harus dipelihara dan dijaga agar memiliki perkembangan emosi, sosial, dan moral yang baik. Meminjam Socrates, pihak keluarga perlu mengembangkan potensi anaknya ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 1/12/08

Guru yang Mendidik Generasi

ANAK-anak bangsa pada masa kini adalah wajah bangsa di masa mendatang. Baik buruknya peradaban di negeri ini amat ditentukan oleh aspek pendidikan yang diberikan kepada anak-anak bangsa sebagai cikal bakal generasi di masa mendatang. Maka, pendidikan jelas merupakan faktor penting mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara yang bermartabat. Pendidikan diselenggarakan agar anak-anak bangsa mampu beradaptasi dan berkontribusi positif membangun peradaban di masa depan.

Berbicara aspek pendidikan tentu tak bisa dilepaskan dari sosok guru. Di pendidikan formal persekolahan, guru adalah ”orang tua” bagi anak-anak didiknya. Guru memiliki tanggung jawab besar untuk menyiapkan anak-anak didiknya agar kelak menjadi manusia yang positif bagi kehidupan. Guru berperan membimbing anak-anak didiknya menjadi manusia dewasa yang bernurani, cendekia sekaligus memiliki kemandirian.

Pentingnya kehadiran guru bagi maju mundurnya peradaban bangsa sungguh disadari segenap pihak. Kaisar Hirohito pun tak mempedulikan jumlah tentara saat dua kota di Jepang luluh lantak sekitar 63 tahun lalu. Untuk membangkitkan Jepang, Kaisar Hirohito memanggil guru untuk bertindak ”menerbitkan” negeri Sakura lagi. Betapa pentingnya guru sehingga dua badan PBB pun merumuskan rekomendasi pada 5 Oktober 1966 bertajuk Recommendation Concerning The Status of Teachers. Rekomendasi berisi 13 Bab dan 146 Pasal itu dikeluarkan UNESCO dan ILO untuk memperhatikan lebih seksama posisi dan peran guru sebagai pendidik sekaligus pekerja. Hari dikeluarkannya rekomendasi itulah ditetapkan sebagai Hari Guru Internasional. Selain Hari Guru Internasional, setiap negara juga memperingati Hari Guru Nasional. Peringatan Hari Guru di setiap negara berbeda-beda. Di Indonesia, peringatan Hari Guru bersamaan dengan hari berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 22 November 1945.

Pastinya, guru sebagai aktor pendidikan dituntut profesional dan memiliki kompetensi memadai. Berdasarkan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru merupakan tenaga profesional yang memiliki hak dan juga kewajiban profesional. Dijelaskan dalam Bab IV, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 8). Adapun kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat (Pasal 9). Guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10).

Dengan demikian, kedudukan guru bukanlah main-main. Artinya, guru tidak sekadar mengajar dan mengevaluasi belajar anak-anak didiknya, tetap juga membimbing, mengarahkan, dan mendidik. Guru berperan mendidik anak-anak didiknya agar berkembang potensinya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Meskipun tugas yang diemban guru tidaklah ringan, tapi merupakan tugas yang mulia.

Menyaksikan fakta kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, peran guru semestinya merupakan panggilan jiwa untuk menyelamatkan wajah negeri. Menyelamatkan Indonesia bukan terletak di pundak parpol atau presiden sekali pun, tapi di pundak guru yang mendidik anak-anak bangsa. Justru dari tangan-tangan gurulah akan terlahir anak-anak bangsa yang kelak akan mampu menampilkan Indonesia lebih bermartabat. Di tengah krisis keteladanan, guru harus mampu menjadi teladan yang sesungguhnya bagi anak-anak didiknya. Guru pada saat ini harus mampu membangun paradigma positif bagi anak-anak didiknya bahwa perubahan Indonesia menjadi lebih baik ada di tangan mereka.

Perubahan teks lagu Hymne Guru karya Sartono yang awalnya ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” menjadi ”Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” pada peringatan Hari Guru tahun ini harus dimaknai secara substantif oleh guru. Guru tentu saja dapat menjadi pahlawan yang perlu juga diberi tanda jasa. Guru juga manusia yang membutuhkan tanda jasa berupa immateri maupun materi. Ungkapan ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” perlahan tapi pasti tidak akan melekat lagi pada sosok guru. Namun demikian, guru tidak serta-merta menuntut tanda jasa tanpa pengabdian. Justru pengabdian yang menjadi prioriotas utama agar sebutan pahlawan yang melekat tak sekadar kata. Adapun ungkapan ”Pahlawan Pembangun Insan Cendekia”selayaknya menjadi cermin guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cendekia mengandung arti: (1) tajam pikiran, lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu), cerdas, pandai; (2) cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar atau pandai menggunakan kesempatan; (3) terpelajar; cerdik pandai, cerdik cendekia. Insan yang cendekia adalah manusia yang terpanggil untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan sosial. Tidak hanya berwacana saja, insan cendekia adalah manusia yang dapat menawarkan strategi jitu untuk memecahkan permasalahan yang berkembang di masyarakat secara solutif.

Pada dasarnya, membangun insan cendekia saja tidaklah cukup. Guru harus melampaui ungkapan itu dengan membangun anak-anak bangsa yang tidak hanya cendekia, tapi juga memiliki nurani. Tentu saja, guru harus menjadi sosok yang cendekia dan bernurani terlebih dahulu. Tantangan guru adalah kemampuan melahirkan generasi tangguh untuk Indonesia masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga memiliki nurani. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 23/11/08


Laskar Pelangi dan Sumpah Pemuda

Fenomenal. Itulah kata yang merangkum segenap apresiasi terhadap munculnya “Laskar Pelangi”, baik dalam bentuk novel maupun film. Novel goresan pena Andrea Hirata mampu menyedot perhatian publik yang kabarnya terjual puluhan ribu per bulannya. Sungguh hal yang prestisius. Diterbitkan pertama kali pada tahun 2005 oleh penerbit Bentang Pustaka, novel setebal 529 halaman ini kuasa menghadirkan sisi lain dari karya sastra. Sisi yang mampu memberikan inspirasi dan semangat hidup dalam dunia realitas.

Tak jauh berbeda dengan novelnya, film “Laskar Pelangi” yang digarap oleh Riri Reza juga menyedot perhatian kaum sufi (suka film). Riri Reza mampu menggarap film berdurasi 120 menit itu dengan apik meskipun terdapat tiga tokoh baru di luar novel aslinya. Meski demikian, film garapan Riri Reza tak mengurangi substansi yang ingin dihadirkan, yakni perjuangan sepuluh anak (juga Ibu Muslimah) yang ingin menciptakan perubahan besar dalam kehidupan. Perubahan besar itu bukanlah utopia asalkan memiliki semangat dan mentalitas kerja keras untuk menggapai cita-cita. Di tengah kehidupan yang kesusahan, Ibu Muslimah tampil sebagai “Sang Guru” bagi Ikal dan teman-temannya di SD Muhammadiyah Gantung, Belitong.

Suasana batin sepuluh anak yang menyebut diri sebagai “Laskar Pelangi” itu tentu saja adalah suasana keprihatinan. Keterhimpitan hidup dalam kepapaan ternyata tak menjadikan mereka berputus asa. Dengan satu semangat menggapai kehidupan yang lebih baik, mereka berupaya menciptakan perubahan melalui pendidikan. Suasana batin anak-anak itu juga menghinggapi para pemuda 80 tahun silam. Para pemuda dari beragam etnis pada 1928 menyatukan diri dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 demi terwujudnya Indonesia merdeka. Suasana batin para pemuda menyaksikan jerit pilu rakyat akibat penindasan penjajah Belanda membuncahkan semangat satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Dalam “Laskar Pelangi”, keragaman etnis juga tampak dengan satu anak Tionghoa bernama A Kiong. A Kiong keturunan Tionghoa itu hidup menyatu dalam “Laskar Pelangi” tanpa harus merasa hidup di “planet lain”. Sebagaimana Kongres Pemuda II di Jakarta pada 1928 silam, pemuda Tionghoa juga turut hadir, yakni Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Konon tempat dibacakannya Sumpah Pemuda adalah rumah kepunyaan seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong. Sungguh menakjubkan. Ya, itulah semangat yang selayaknya dimiliki anak-anak muda masa kini untuk mampu hidup bersama dalam perbedaan. Jika anak-anak dalam “Laskar Pelangi” ingin merubah kehidupan sosial dan ekonomi di Belitong, maka anak-anak muda zaman kini sudah seharusnya memiliki semangat serupa. Anak-anak muda dari berbagai daerah yang dihuni beragam kelompok perlu hidup rukun dalam satu cita-cita membangun daerahnya. Nasionalisme sebagai satu bangsa yang diikrarkan pada tahun 1928 adalah perasaan mencintai dan ingin berbuat nyata bagi kebangunan Indonesia . Anak-anak muda sudah sewajarnya membangun daerahnya masing-masing dengan spirit nasionalisme bahwa membangun daerah untuk lebih maju juga berarti membangun negeri Indonesia .

Pastinya, semangat anak-anak dalam “Laskar Pelangi” sungguh diharapkan mampu menjadi kepribadian anak-anak Indonesia di negeri ini. Anak-anak muda sebagai penerus perjalanan bangsa perlu memiliki spirit tak kenal menyerah. Pun, ketekunan dan kerja keras adalah keniscayaan bagi terciptanya impian dan cita-cita. Anak-anak muda perlu memiliki mentalitas kerja keras, mandiri, percaya diri, dan lebih penting lagi adalah kepemilikan tanggung jawab sosial untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Sebagaimana para pemuda yang bersumpah setia pada tahun 1928, anak-anak muda perlu membebaskan kehidupan masyarakatnya dari penjajahan: kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Di sisi lain, kita perlu juga menyadari aspek pendidikan bagi terbangunnya jiwa anak-anak muda. Para pemuda yang berinisiatif dan menggagas Sumpah Pemuda 1928 diakui mendapatkan penempaan pendidikan yang matang. Seperti dikatakan Safari Daud (2006), konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran pemuda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. Karenanya, kita jangan sekadar berteriak-teriak bahwa anak-anak muda adalah generasi masa depan, tapi seyogyianya menyediakan ruang pendidikan bagi tumbuh kembang anak-anak muda.

Dalam hal ini, ruang pendidikan bagi anak-anak muda tidak bisa melepaskan peran guru di dalamnya. Bu Muslimah sebagai guru dalam “Laskar Pelangi” bisa menjadi cermin pentingnya guru bagi perkembangan intelektual, mental, dan spiritual anak-anak muda. Bu Mus mengajar dan mendidik anak-anak di Belitong dengan semangat pengabdian, bukan menjadikan materi sebagai orientasi utama. Bagaimana tidak, dengan hanya bergaji Rp 3.000 per bulan yang kadang dibayar Rp 1.300, Bu Mus terus mendidik anak-anak dalam “Laskar Pelangi” dengan penuh kasih sayang. Bu Mus mampu menjadi “bensin” yang membakar jiwa dan semangat anak-anak didiknya untuk tekun belajar. Sosok Bung Karno pun ditampilkan Bu Mus agar anak-anak didiknya termotivasi untuk menjadi “besar”. Sungguh luar biasa sosok guru Bu Muslimah ini. Maka, tak salah jika mantan Mendikbud kita, Fuad Hasan, pernah mengatakan, “Sebaik apapun kurikulum jika tidak didukung guru yang berkualitas maka semua akan sia-sia”. Guru yang berkualitas tentu tidak hanya di wilayah akademik, tapi juga berkualitas secara moral dan kepribadian, mampu memotivasi anak didik, memiliki dedikasi, dan bercita-cita mulia menjadikan anak-anak didiknya agar lebih manusiawi. Guru yang berkualitas adalah guru yang mampu menjadikan anak-anak didiknya berpikir dan bertindak besar.

Dengan semangat 80 tahun Sumpah Pemuda, sudah saatnya kita menjadi “Bu Muslimah” yang mendidik anak-anak muda agar berpikir dan bertindak besar sebagaimana para pemuda pada 1928 silam. Jika anak-anak muda mampu seperti itu, maka Indonesia maju bukan hanya mimpi. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 24/10/2008

Menjadi Guru adalah Panggilan Hidup

TENTU tak berlebihan jika dikatakan masa depan anak-anak berada di pundak guru. Anak-anak yang sedang tumbuh berkembang bisa diarahkan kemana pun oleh guru yang mengajar dan mendidik di sekolah. Peran guru dalam memberikan jalan hidup bagi anak-anak tentu saja menegaskan sebuah makna yang tak sederhana. Guru tak sekadar masuk kelas dan mengajar, tapi juga dituntut mampu memberikan cahaya bagi anak-anaknya untuk bersinar di hari depan.
Untuk melihat sosok guru, kita bisa menyimak sosok guru Bu Muslimah dalam “Laskar Pelangi”. Bu Muslimah menjadi guru karena panggilan hidup. Tak menjadi soal berapa materi yang didapatkan dengan mengajar di sebuah sekolah reot SD Muhammadiyah Gantong, Belitong. Dengan jumlah murid yang tak sesuai dengan jumlah ideal dalam satu kelas, Bu Muslimah tetap menunjukkan spirit guru yang mengajar, mengarahkan, membimbing, dan mendidik. Karena panggilan jiwa, Bu Muslimah tak memiliki pikiran selintas pun untuk pindah sekolah yang lebih menjanjikan. Bu Muslimah mampu memotivasi sepuluh anak dalam “Laskar Pelangi”, melihat potensi-potensi mereka untuk dijadikan energi keberhasilan.

Menjadi guru dengan penuh pengabdian sebagaimana Ibu Muslimah memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Di seantero Indonesia ini, sosok guru seperti Bu Muslimah sebenarnya tidaklah sedikit. Masih banyak sosok lain di luar Bu Muslimah yang memiliki pengabdian luar biasa untuk membesarkan anak-anak didiknya. Di pulau-pulau terpencil, di sudut-sudut desa, ataupun pelosok jauh tak terjangkau mata, sosok guru yang memiliki pengabdian dan menjadi guru karena panggilan hidup boleh jadi tak pernah kita bayangkan sedikit pun.

Disadari atau tidak, kehadiran guru dalam pendidikan anak-anak melampaui pentingnya penggunaan internet yang saat ini sudah mewabah hingga masuk sekolah. Anak-anak sebagai manusia memerlukan pendekatan manusiawi oleh sosok guru yang tak bisa digantikan oleh benda apapun. Maka, tak salah jika guru dalam leksikon Jawa diakronimkan dengan ungkapan “digugu lan ditiru”. Guru harapannya bisa dipegang kebenaran kata dan bisa diteladani perilakunya. Dari guru, anak-anak belajar akan makna hidup, motivasi, semangat, dan mentalitas. Gurulah yang melahirkan sosok-sosok besar yang berpikir dan bertindak besar dalam kehidupan. Kesadaran itulah yang mengilhami Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan khasnya. Ada juga Ki Hajar Dewantara yang ingin mendidik anak-anak bangsa melalui Taman Siswa-nya. Saat ditahan di Bengkulu, Soekarno pun mengajari anak-anak sejumlah pelajaran dari berhitung sampai bahasa Indonesia. Pernah juga Jendral Soedirman menjadi kepala sekolah di SD Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Selain mereka, masih banyak tokoh-tokoh bangsa yang merelakan hidup sebagai guru yang mengabdi demi terlahirnya anak-anak bangsa yang bernurani, cendekia, sekaligus memiliki kemandirian dan kemerdekaan.

Pilihan menjadi seorang guru tentu tidak sekadar materi yang ingin didapatkan. Guru bukanlah politisi yang terus berburu popularitas atau mencari status sosial terhormat di masyarakat. Menjadi guru adalah panggilan hidup untuk mewujudkan peradaban yang bermartabat. Melalui tangan-tangan guru, anak-anak bangsa tumbuh menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ada tugas penting di sini yang menjadikan guru tak sekadar profesi sebagaimana profesi lainnya. Guru adalah sosok yang memainkan peran untuk memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani—meminjam Driyarkara. Motivasi dan tujuan luhur inilah yang seyogianya mendasari siapa pun ketika membulatkan langkah menjadi guru.

Pungkasnya, menjadi guru adalah panggilan hidup. Menjadi guru adalah jalan juang yang menyimpan kemuliaan. Di tangan guru, eksistensi bangsa dan negara dipertaruhkan. Menjadi guru adalah sebuah bentuk keberanian untuk membawa anak-anak bangsa menuju cita-cita. Menjadi guru adalah sebuah bentuk pengorbanan demi terlahirnya manusia Indonesia yang mampu belajar dari masa lalu, berinteraksi dengan masa kini, dan mampu beradaptasi dengan masa depan. Tegasnya, menjadi guru adalah kemuliaan untuk tidak meninggalkan generasi lemah di negeri yang kita cintai ini. Guru adalah aktor penting pendidikan yang—meminjam Ki Hajar Dewantara—akan menuntun segenap kekuatan kodrat anak-anak bangsa agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Maka, sebuah keniscayaan jika saatnya menjadi guru karena panggilan hidup. Guru yang tulus mengabdi tanpa henti. Guru yang memang layak disebut pahlawan karena berharap ridha dan pahala Tuhan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 26/10/08

Sumpah Pemuda dan Pendidikan

Pada tahun ini kita memperingati 80 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan ikrar para pemuda untuk menyatukan gerak langkah dalam satu semangat melawan dan mengusir kolonialisme dan imperialisme dari bumi Nusantara. Kondisi ketercekaman akibat penindasan kaum penjajah menyadarkan para pemuda untuk bertindak segera. Penjajahan Belanda ketika itu tidak bisa ditolerir karena menyebabkan jutaan rakyat menjerit pilu. Untuk itu, kelompok pemuda dari penjuru Nusantara berkumpul bersama merumuskan konsep menuju kemerdekaan Indonesia dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 2008 di Jakarta . Kongres Pemuda II itu ditulis dalam salah satu artikel bertajuk “Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia ” di surat kabar Pemoeda Indonesia (PI) No. 8 Tahun 1928.

Adapun sebagian isi tulisan itu, “Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak, Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen…….Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R. Soepratman, lagu INDONESIA RAJA”. Pemuda Tionghoa turut hadir dalam kongres itu, yakni Kwee Thiam Hong (sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond), Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Tempat dibacakannya Sumpah Pemuda juga kepunyaan seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Dengan berkumpul dan bersatunya para pemuda dari beragam kelompok etnis dan pergerakan itu menandakan lenyapnya ego kesukuan sekaligus menurut Edy Firmansyah (2007) menunjukkan tingginya sikap pluralisme dan kebersamaan kaum muda. Karena semangat keindonesiaan yang besar dan nyata, Syafi’i Ma’arif (2008) bahkan menyebut Sumpah Pemuda sebagai tonggak kebangkitan nasional.

Pada titik ini, kita kesampingkan diskursus soal tonggak kebangkitan nasional. Menengok kembali sejarah Sumpah Pemuda, para pemuda di akhir kongres mengucapkan sumpah setelah menggelar rapat intensif selama dua hari yang diketuai Soegondo Djojopoespito. Pertama, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia . Kedoea, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia . Ketiga, kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Penulis sengaja menuliskan isi Sumpah Pemuda sesuai aslinya untuk sedikit mengoreksi pemahaman yang diutarakan sebagian pihak bahwa Sumpah Pemuda mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Padahal, sebagaimana kita baca, Sumpah Pemuda hanya mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Itu artinya bukan satu bahasa: bahasa Indonesia. Memang benar bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu, tapi tidak berarti menyatukan bahasa. Warga Indonesia dituntut menghayati budaya daerahnya, budaya nasional, dan budaya global yang menuntut penguasaan bahasa daerah (ibu), bahasa Indonesia, dan bahasa asing.



Pendidikan

Dalam Kongres Pemuda II, aspek pendidikan memang menjadi pembahasan dan disebut oleh Muhammad Yamin sebagai salah satu faktor pemerkuat persatuan Indonesia . Saat rapat pada hari pertama di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Sabtu, 27 Oktober 1928, Muhammad Yamin juga menyebut faktor selain pendidikan, yakni sejarah, bahasa, hukum adat, dan kemauan. Muncul juga pemikiran Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro mengenai pendidikan dalam rapat hari kedua di Gedung Oost-Java Bioscoop yang menarik kita hayati: (1). Anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, (2). Harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan (3). Anak juga harus dididik secara demokratis. Masih terkait dengan aspek pendidikan, Soenario yang juga tampil sebagai pembicara menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan ini, sebagaimana dikatakan Ramelan dalam Kongres Pemuda II, tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri. Kedisiplinan dan kemandirian merupakan hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Adanya peran penting pendidikan bagi kebangunan bangsa dan negara, siapa pun tentu tak memungkiri. Bangkitnya kesadaran para pemuda yang menggagas dan menggelar Sumpah Pemuda 1928 pun disebabkan dari tempaan proses pendidikan yang sedikit banyak merupakan imbas dari kebijakan Politik Etis. Walaupun kebijakan itu juga dimaksudkan untuk mendukung eksistensi penjajah, namun tidak semua pemuda yang mendapatkan pendidikan saat itu mau bersekutu dengan Belanda. Menurut Safari Daud (2006), konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. "Traktat" Batavia 28 Oktober 1928 cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah, penduduk, dan bahasa. Atas dasar itu, kita pun menyadari bahwa aspek pendidikan memegang peranan penting “mencerahkan” alam pikiran anak bangsa. Pendidikan mampu memberikan kesadaran bagi anak bangsa untuk memberikan kontribusi bagi kebangunan bangsanya.

Pendidikan yang mampu melahirkan insan-insan yang peduli terhadap bangsanya tentu saja adalah pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, simpul pendapat Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro dalam Kongres Pemuda II. Pendidikan kebangsaan ini oleh penulis terangkum sebagai pendidikan yang melahirkan anak bangsa agar mencintai bangsanya, memiliki kehendak untuk berkarya dan membangun bangsanya. Pada dasarnya konsep ini sudah jelas termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan tak sekadar membangun tingkat intelektualitas, tapi juga mampu melahirkan anak bangsa sebagai warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk itu, pendidikan kebangsaan perlu diimplementasikan dalam proses penyelenggaraan pendidikan nasional. Pendidikan kebangsaan bukan berarti meniadakan nilai-nilai lokal. Nilai-nilai lokal perlu diajarkan dan ditanamkan, tapi anak-anak bangsa juga perlu ditanamkan kesadaran sebagai satu bangsa yang hidup dan berpijak di tanah Indonesia . Kesadaran yang akhirnya menghasilkan tindakan positif untuk berkontribusi nyata bagi perbaikan bangsanya. Dalam bahasa Benni Setiawan (2008), menjadi agenda mendasar di sini adalah melakukan "nasionalisme" kurikulum, buku pelajaran, dan cara mengajar guru. Pendidikan kebangsaan perlu mulai dilaksanakan di tingkat pendidikan dasar karena di tingkat tersebut adalah awal mula pembentukan alur berpikir dan logika. Tanggung jawab melakukan itu tentu saja tidak melulu berada di pundak sekolah. Artinya, pihak keluarga juga bertanggung jawab mendidik anak-anaknya agar memiliki nilai-nilai kebangsaan. Sinergisitas pihak keluarga dan sekolah diperlukan untuk mendidik anak-anak bangsa sehingga akan kelak akan lahir—meminjam Fahri Hamzah (2002)—pemuda dalam semangat, kesucian diri, kecerdasan, kecemerlangan, kejujuran, keberanian, pikiran dan jiwa besar, kepercayaan diri dan mental yang terbuat dari baja, kejujuran dan patriotisme terhadap bangsa Indonesia . Seperti tutur Ki Hajar Dewantara bahwa mendidik anak itulah mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada zaman sekarang itulah buahnya pendidikan yang kita terima dari orangtua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknya anak-anak yang pada waktu ini kita didik, kelak akan menjadi warga negara kita.

Pungkasnya, Sumpah Pemuda memang selalu identik dengan semangat kebangsaan, tapi yang perlu digarisbawahi bahwa pondasi untuk menanamkan hal itu adalah melalui pendidikan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 25/10/08

Sarjana yang Menganggur

PERSAINGAN kerja diakui memang cukup ketat. Bagi lulusan perguruan tinggi, pilihan kerja sebenarnya tidak melulu tertuju pada sektor formal. Kewirausahaan, misalnya, bisa digeluti para lulusan perguruan tinggi. Namun, sektor kewirausahaan belum sepenuhnya menjadi orientasi. Masih banyak lulusan perguruan tinggi yang berorientasi mencari lapangan kerja (job seeker). Jika ada lulusan perguruan tinggi yang berkehendak kuat menciptakan lapangan pekerjaan, itu jumlahnya terbatas. Orientasi mendapatkan pekerjaan pastinya memenuhi benak lulusan perguruan tinggi dengan harapan hidupnya terjamin di masa depan.

Lebih-lebih lagi pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil atau PNS. Jujur diakui jika menjadi PNS merupakan idaman setiap lulusan. Dengan adanya jaminan yang memang “menggiurkan” saat aktif kerja dan ketika pensiun, lulusan perguruan tinggi tak pernah ketinggalan mengikuti informasi lowongan di instansi pemerintahan. Sebut saja kenaikan gaji PNS yang tiap tahunnya bisa mencapai 15% dan ditambah adanya gaji ke-13, itu tentu saja mengundang minat. Belum lagi pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap status PNS yang masih besar. Jadi, tak aneh jika pekerjaan sebagai PNS seperti sebuah kompetisi sengit antarlulusan dimana setiap tahun selalu dijejali pendaftar. Jika tidak lolos tes, lulusan tetap mencoba di tahun berikutnya dengan target pokoke bisa jadi PNS. Namun demikian, orientasi sekadar menjadi PNS terbilang menggelisahkan jika para lulusan tak memiliki pikiran alternatif pekerjaan pascajenjang pendidikan tinggi. Pasalnya, jumlah formasi PNS tentu saja tak sebanding dengan jumlah lulusan yang kabarnya ada sekitar 400.000 lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya.

Memang tidak ada larangan bagi para lulusan perguruan tinggi mengejar impian menjadi PNS. Persoalan terjadi, seperti dikatakan di muka, jika tak ada pikiran alternatif bagi lulusan perguruan tinggi untuk bergelut di lapangan pekerjaan lain sehingga justru menambah deret panjang pengangguran terdidik. Kian bertambahnya jumlah sarjana yang menjadi pengangguran dari tahun ke tahun setidaknya merupakan “tamparan” terhadap pendidikan tinggi. Kita saksikan pada tahun 2007 lalu, ada 740.206 lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Itu artinya bertambah sekitar 66.578 sarjana menganggur dari sejumlah 673.628 sarjana menganggur pada tahun 2006. Jumlah itu jelas meningkat pesat karena 3 tahun lalu saja jumlah sarjana menganggur hanya berkisar 385.418 lulusan. Dari sekian banyak jumlah sarjana menganggur itu tentu tidak semuanya akibat gagal menjadi PNS. Boleh jadi sektor industri dan sektor jasa lainnya tidak cukup mampu menampung para lulusan perguruan tinggi karena kadar kompetensi yang tak sesuai kualifikasi atau karena kuota yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lulusan.

Maka, terkait dengan kenyataan itu, beragam motivasi dan letupan semangat berwirausaha coba ditanamkan kepada mahasiswa. Kemandirian dan kreativitas adalah kata kunci agar mahasiswa ketika lulus tidak berpikir linear dan pragmatis. Memang tak bisa dimungkiri jika ada yang berpikiran lulus kuliah lalu cari kerja. Pun, berpikir untuk mendapatkan pekerjaan tanpa harus susah payah, tetapi mendapatkan penghasilan yang menjanjikan. Tentu saja paradigma seperti itu secepat mungkin harus dilenyapkan dalam benak setiap lulusan perguruan tinggi. Dengan demikian, dunia perguruan tinggi memang dituntut untuk kuasa memberikan orientasi lulusannya agar cakap berusaha dan kreatif menciptakan lapangan pekerjaan (job creator).

Sisi lain yang layak dicermati, banyaknya jumlah sarjana pengangguran jangan lantas tunduk pada kebutuhan pasar. Paradigma menghasilkan lulusan dengan kompetensi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja memang tidak salah, tapi tanpa disadari bisa berakibat pada hilangnya jati diri pendidikan tinggi. Jika dunia perguruan tinggi terseret arus paradigma memenuhi kebutuhan pasar kerja, perlahan tapi pasti perguruan tinggi akan berubah wajah menjadi universitas industri, bukan sebagai pusat pendalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep tridharma perguruan tinggi boleh jadi tidak akan menemukan makna karena terjebak pada tuntutan kebutuhan pasar kerja. Gejala yang saat ini mengemuka memang menampakkan hal seperti itu. Berbagai program studi/jurusan yang tak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja ditutup dan digantikan dengan program studi/jurusan yang sifatnya praktis. Di sinilah titik persoalannya karena ilmu-ilmu murni akhirnya cenderung ditepikan dari pergulatan intelektual akademisi dan tak lagi diminati.

Terkait dengan hal di atas, kebijakan pendidikan tinggi menjadi sebuah keniscayaan agar budaya pendalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak meredup. Pemerintah melalui Depdiknas perlu mengatur secara ketat pendirian sebuah perguruan tinggi berikut klasifikasinya. Bagi sebagian perguruan tinggi tidak menjadi masalah jika hanya membuka program studi/jurusan yang dibutuhkan pasar kerja. Pada beberapa perguruan tinggi yang terdapat program studi/jurusan berkaitan dengan ilmu-ilmu murni harus mendapatkan perhatian serius terkait prospek ke depan. Lulusan dari program studi/jurusan itu bisa diorientasikan menjadi peneliti dan tenaga ahli untuk sebuah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perlu diketahui, aspek pengembangan keilmuan di negeri ini masih terbilang rendah. Peneliti dan tenaga ahli yang diorientasikan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu tentu harapannya bisa memberikan kontribusi bagi negara serta dapat membangun kehidupan masyarakat secara nyata.

Yang jelas, lulusan perguruan tinggi selayaknya bisa menjadi problem solver, bukan malah penambah masalah. Potensi-potensi yang ada perlu dikelola dan diarahkan agar lulusan perguruan tinggi tidak menambah angka pengangguran di negeri ini. Mencari pekerjaan tidak dilarang, tapi lulusan perguruan tinggi seyogianya bisa berpikir inovatif dan kreatif untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan bekal kompetensi dan spesialisasi keilmuan yang dimiliki, lulusan perguruan tinggi harapannya bisa menjadi agen transformasi sosial, berperan aktif signifikan bagi kebangunan masyarakat. Semoga saja begitu. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 23/10/08


Dolanan Tradisional

DI RUMAH tampak sepi. Hari minggu Ruroh beristirahat di rumah. Ibu Ruroh dari tadi pagi belum pulang dari pergi ke pasar. Di teras rumah, Ruroh sedang berbincang dengan Azizah. Ruroh dan Azizah teman akrab satu kampung. Ruroh dan Azizah juga satu kelas sehingga bisa belajar dan bermain bersama. Apalagi rumah Ruroh dan Azizah berdekatan.

“Sekarang teman-teman banyak yang membeli handphone. Tambah keren, ya?” ucap Azizah.

“Mungkin,” jawab Ruroh singkat.

“Di handphone itu juga ada permainannya. Coba kalau saya punya handphone, saya bisa bermain menggunakan handphone,” lanjut Azizah.

“Ya sih, tapi sebenarnya handphone itu digunakan sebagai alat komunikasi. Agar lebih wah, maka dilengkapi dengan fasilitas seperti permainan,” tutur Ruroh.

“Kamu mau beli handphone?” tanya Azizah.

“Beli handphone?” Ruroh balik bertanya.

***

“Saat sekarang handphone memang banyak digunakan. Handphone memang memudahkan komunikasi. Tidak seperti telepon rumah, handphone bisa dibawa kemana-mana. Tapi, handphone bisa membuat dolanan tradisional anak-anak tidak dimainkan lagi. Karena ada permainan di handphone, banyak yang lebih suka berlama-lama menatap layar handphone,” terang Bu Piko di kelas pada hari Senin, masuk sekolah setelah libur Minggu kemarin.

“Anak-anak masih ada yang suka bermain dakon?” tanya Bu Piko.

“Ya, Bu. Saya sering kali bermain dakon dengan ibu saya. Ibu yang mengajari saya bermain dakon. Kalau ibu membeli sawo, isi sawo itu saya kumpulkan untuk bermain dakon, Bu” jawab Ruroh.

“Ruroh pasti senang bisa bermain dakon dengan ibu. Permainan dakon memang biasa dilakukan perempuan. Selain dakon juga ada bola bekel. Permainan yang menggunakan enam buah biji dan sebuah bola. Tapi, ya itu tadi, permainan seperti itu sudah menghilang. Anak-anak zaman sekarang lebih suka main play station dan game di handphone. Sekarang anak-anak perempuan juga sudah jarang pasaran. Dulu ibu dengan teman-teman ibu suka pasaran, permainan seperti situasi di pasar,” terang Bu Piko.

“Di zaman ibu banyak permainan ya Bu,” tanya Azizah.

“Ya, ada juga petak umpet. Kadang disebut delikan.”

“Maaf, Bu. Bagaimana kalau kita lakukan saja permainan-permainan itu, Bu?” Azizah memotong penjelasan Bu Piko. “Azizah tampaknya bingung kalau tidak dipraktikkan langsung,” lanjut Azizah.

“Boleh. Ibu senang kalau anak-anak masih mau melakukan permainan anak-anak ini. Bagaimana kalau besok kita bermain dakon? Yang di rumah punya peralatan dakon bisa dibawa ke sekolah untuk bermain bersama. Ada banyak permainan tradisional lain yang pastinya anak-anak akan tertarik,” kata Bu Piko tampak ceria.

“Ya, Bu. Besok dakon di rumah saya akan saya bawa ke sekolah. Kata ibu saya, banyak permainan tradisional yang mengajarkan kita untuk bersosialisasi dengan orang lain. Kalau play station atau game lainnya yang ada sekarang cenderung membuat malas dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain,” kata Ruroh yang dibiasakan ibunya untuk tidak meninggalkan dolanan tradisional.
HENDRA SUGIANTORO, 20/10/08

"Mengkursikan" Politisi

Di tengah bising bunyi knalpot kendaraan, puluhan bendera partai politik berkibar. Melambai menjadi pemandangan siapa pun yang mengitari jalanan. Beragam warna bendera parpol tampak begitu indah dengan lambang-lambang yang indah pula. Lambang yang tentunya memiliki makna filosofis. Apapun makna filosofis dari lambang di bendera yang berkibar itu, segenap parpol umumnya bertekad akan mempertampan wajah negeri.
Ungkapan mempertampan disebutkan bukan untuk memarjinalkan perempuan. Bukan. Itu karena politisi yang akan menghuni rumah DPR/D ke depan akan didominasi kaum laki-laki. Karena tak mungkin asri sebuah rumah tanpa kehadiran perempuan, maka perlu kuota 30%. Namun sayang, kaum laki-laki tak ingin menyaksikan wajah-wajah cantik. Parpol tak sedikit yang tak memenuhi kuota itu. Mungkin saja karena politisi laki-laki tak suka jika ketampanannya terenggut oleh kecantikan perempuan.

Parpol pun melenggang tanpa peduli. Laki-laki atau perempuan bukanlah persoalan, yang penting adalah daya. Daya yang katanya mengabdi bagi kepentingan kawula alit. Setiap parpol mengklaim calon legislatifnya yang terbaik di antara yang terbaik. Paling baik. Politisi-politisi yang bakal dikursikan di gedung dewan adalah terbaik. Tentu saja terbaik menurut kacamata parpol itu. Di kaca mata lain, politisi hitam ternyata masih bertebaran. Parpol pun tak sudi mengganti kacamata dan tetap mengatakan calegnya tak hitam karena hitam adalah gelap. Masyarakat tak mungkin memilih di kegelapan yang tak kelihatan. Karena masyarakat adalah target rayuan, barisan caleg harus dikatakan benderang. Dengan begitu, masyarakat tak perlu repot-repot menentukan pilihan karena tak mungkin salah jalan di hamparan putih yang terang.

Rayuan-rayuan parpol memang memikat. Siapa pun bisa bertekuk lutut meskipun kerap kali hanya rayuan gombal. Betapa pintarnya parpol merias wajah untuk sekadar mencuri hati masyarakat. Seketika masyarakat terpikat, parpol masih menahan menampakkan ceria. Menunda keceriaan atas kian tegapnya perolehan kursi di legilatif. Karena 2009 masih panjang, jangan dulu menampakkan ceria. Biarkan masyarakat terhanyut dalam buaian tentang impian negeri di awan. Menebar pesona dengan manis mulut dan pentas tokoh, parpol merangkul masyarakat agar memasuki sangkarnya.

Parpol memang akan terus mencoba menduduki kursi di rumah DPR/D. Tak ada kursi lain yang serupa kursi itu sehingga partai politik tak lelah merebutnya. Meskipun kursi di rumah sendiri sudah begitu nyamannya, kursi di DPR/D tetap tak ada bandingannya. Apalagi kursi RI-1, keindahan arsitekturnya pasti melebihi kursi di DPR/D. Parpol yang sudah memiliki kursi di DPR/D tetap perlu mati-matian mempertahankannya.

Betapa mahalnya kursi itu ketika memiliki. Maka, caleg pun tak rela dibuncitkan nomor urut pencalegannya. Kursi yang menyediakan gaji berlimpah, fasilitas dan tunjangan beraneka rupa. Menduduki kursi itu bisa berdasi bangga saat bersafari, menyusuri negeri manca, dan meraup rupiah dari rapat berkali-kali. Kursi yang kuasa mengangkat status sosial di mata sekitar. Karenanya, setiap caleg hanya ingin di urut satu, tak ingin di urut bawahnya. Khawatir tak bakal menembus parlemen jika diposisikan di nomor ekor.

Naasnya, menjadi anggota dewan ternyata tak sekira mata memandang. Politisi yang sedari cilik pontang-panting memegahkan bangunan parpolnya, nyatanya tak sedikit yang ditepikan. Karena kursi itu mahal, calegnya harus mahal pula. Celeg yang berkelas murah tak menjamin memperoleh kursi yang mahal. Di sebagian parpol, drama pun diputar dengan akhir cerita tercantumnya nama politisi yang hanya mengandalkan kantong tebal. Di sudut cerita lain, aktor layar kaca pun dipinang parpol untuk turut serta memperebutkan kursi yang mahal. Sebuah pembacaan partai yang tidak meleset karena masyarakat saat ini cenderung memprimadonakan aktor layar kaca. Namun demikian, tanpa disadari parpol jika itu justru menampakkan murahnya politisi parpol bersangkutan. Politisi parpol yang murah karena selama ini tak cakap mengelola rahim parpol i untuk melahirkan sosok mumpuni.

Pastinya, perjalanan masih terus berlanjut. Derap parpol belum berhenti karena titik pemberhentian itu masih 2009 nanti. Parpol akan terus mengibarkan bendera yang ke depan tentunya lebih hingar-bingar lagi. Kampanye yang kini masih terasa adem ayem akan menggeliat beberapa bulan ke depan. Di ruang-ruang manapun akan membahana lidah tak bertulang parpol untuk membujukrayu masyarakat. Janji-janji disuarakan untuk masyarakat mendengar. Tak ada waktu lagi berleha-leha bagi parpol untuk selekas mungkin memikat hati masyarakat. Parpol akan mengeluarkan amunisi program kesejahteraan di tengah kehidupan masyarakat yang masih penuh kepiluan. Elegi hidup di negeri kaya raya.

Pilihan akhirnya di tangan masyarakat. Meskipun tak mau menggerakkan tangan untuk memilih, di antara barisan caleg itu tetap saja menuju gedung dewan. Memilih atau tidak memilih, masyarakat tetap mengkursikan politisi. Tentu di barisan caleg itu tidak seluruhnya hitam. Ada yang putih benderang untuk menuntaskan perubahan. Untuk itu, debu yang menempel di kaca mata selaiknya dibersihkan untuk melihat seterang-terangnya barisan caleg yang beredar. Dengan kaca mata itu, masyarakat perlahan menilai seberapa putihnya caleg yang dijajakan parpol di etalase Pemilu 2009. Tak usah terlalu cepat jatuh hati terhadap setiap bujuk rayu parpol karena boleh jadi akan membuat sakit hati di kemudian hari. Masyarakat dengan kacamata yang bersih akan melihat senyata-nyata caleg terbaik. Kacamata yang bersih semoga mampu mengkursikan politisi yang nyata-nyata putih. Jika ternyata caleg yang terpilih tidak putih, kaca mata masyarakat yang mungkin pecah satu sehingga tak mampu melihat dengan jernih. Atau boleh jadi kacamata parpol yang pecah satu karena terlanjur mengklaim calegnya yang terbaik. Jika dengan kacamata yang utuh dan bersih masih sulit mendapatkan caleg terbaik, kita hanya mengelus dada, beristighfar, mendendangkan lagu kesedihan, dan barkata: tanyakan saja pada bendera parpol yang berkibar. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 17/10/08

Pekerja Anak di Jalanan Kota

SEBERAPA sering kita melintasi jalan-jalan di kota Yogyakarta ini, begitu sering kita menyaksikan anak-anak kecil yang berpanas-panas ria. Tidak hanya di siang hari, di pagi hari pun kadang mereka menampakkan wajah welasnya. Tidak usah jauh-jauh, di perempatan jalan di sebelah utara redaksi Kompas Jogja sering kali kita lihat keberadaan anak-anak kecil yang mencoba mengais nafkah. Di antara mereka ada yang meminta-minta, mengelap kendaraan tanpa diminta, ataupun menjual koran. Malah sering kali mereka juga bersama orang tuanya. Di perempatan jalan-jalan lain juga sering kali kita saksikan.

Siapapun pasti mengerti, anak merupakan sosok manusia yang memiliki hari depan yang panjang. Anak yang dilahirkan di muka bumi ini tentu memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Ruang kondusif bagi tumbuh kembang anak adalah keniscayaan. Orang tua sekaligus masyarakat sekitar tak lepas dari tanggung jawab untuk memberikan ruang tumbuh kembang secara kondusif sehingga anak dapat melewati perjalanan hidupnya dengan perhatian seksama. Tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak sesuai tahapan perkembangan jelas tak terelakkan.
Namun demikian, ruang tumbuh berkembang anak menjadi memprihatinkan dengan fenomena yang sering kali kita lihat seperti di atas. Boleh jadi perasaan hati kita begitu iba ketika seorang anak yang usianya setingkat sekolah dasar rela berpanas-panas di jalan. Lebih-lebih seorang anak kecil perempuan yang boleh jadi melakukan pekerjaan di jalan tak sesuai dengan keinginan hatinya. Ya, itulah fakta yang masih terjadi di kota ini tanpa perlu disembunyikan. Pertanyaannya, layakkah jika anak-anak kecil itu “berkeliaran” di jalan dan bekerja?
Persoalan anak yang dipekerjakan sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Menjelang abad 20, misalnya, pekerja anak di Indonesia sudah bermunculan ketika penjajah Belanda mulai mengembangkan sektor perkebunan dan industri gula modern. Pekerja anak ini jelas terus bertambah seiring perkembangan zaman dan ketidakmerataan kemakmuran ekonomi penduduk. Biasanya keluarga miskin mengambil jalan keluar untuk mengikutsertakan anak dalam usaha pencarian nafkah. Bahkan, dalam komunitas masyarakat tertentu, anak yang diikutkan sebagai bagian dari sumber ekonomi keluarga sudah dianggap wajar. Dalam studinya, Koentjraningrat (1969) menyebutkan bahwa anak berusia 8 tahun yang membantu orang tua mencari nafkah adalah hal biasa, terutama di wilayah pedesaan.
Pastinya, istilah anak yang bekerja dan pekerja anak perlu diberi garis pembeda. Pekerja anak lebih berkonotasi eksploitatif. Ukuran usia anak di sini adalah mereka yang berusia sampai 18 tahun (UU Perlindungan Anak No 23/2002). Anak boleh saja melakukan pekerjaan di rumah untuk membantu orangtua dalam upaya mengembangkan kepribadian dan ketrampilan hidup asalkan orangtua tidak terlalu mengeksploitasi anak. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Anak sekolah menengah kejuruan yang berusia sekitar 15-18 tahun boleh berkerja di sebuah instansi untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuan bidang jurusannya. Dalam UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa anak paling sedikit berusia 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Meskipun boleh saja bekerja, ada persyaratan yang juga perlu diperhatikan, yakni anak diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan dan diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Dengan demikian, persoalan anak yang bekerja sebenarnya tidak hitam putih. Artinya, anak boleh saja bekerja, tapi tetap ada garis batasnya. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan anak-anak yang sering kali melakukan pekerjaan di jalan kota Yogyakarta ini? Anak-anak yang meminta-minta, menjual koran, ikut orang tuanya mencari nafkah.
Yang jelas, anak-anak seusia mereka semestinya dihindarkan dari beban pekerjaan seperti itu. Mereka seharusnya dapat mengenyam kehidupan yang selayaknya sekaligus pendidikan yang memadai. Anak-anak berhak memperoleh perlindungan dan penghidupan yang layak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Selain itu, anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Jelas anak-anak yang saban hari “berkeliaran” di jalan mengalami ruang aktualisasi yang terhambat. Anak-anak tentu saja perlu mendapatkan perlindungan dari setiap eksploitasi meskipun dengan alasan faktor ekonomi keluarga. Sesuai Pasal 66 UU Perlindungan Anak, anak yang mendapatkan perlakuan eksploitasi ekonomi merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk mengatasinya. Boleh jadi kenyataan adanya anak yang hidup di jalanan di kota Yogyakarta ini akibat kondisi keluarga yang terhimpit secara ekonomi (atau mungkin kemiskinan kultural). Karenanya, pemerintah dan juga masyarakat harus bertindak nyata karena--meminjam Endang Ekawaty—seharusnya mereka berada di sekolah, menimba ilmu untuk bekal mereka di masa depan. Seharusnya waktu mereka dihabiskan untuk belajar, bermain dengan teman sebaya, seharusnya mereka bahagia melakukan hal-hal yang harusnya menjadi hak mereka sebagai anak, seharusnya mereka masih bisa tertawa tanpa beban. Di usia yang masih teramat muda mereka belum saatnya mencari nafkah penyokong hidup keluarga, menjadi tulang punggung keluarga atau sekadar turun ke jalan untuk mencari uang saku. Bila mereka turun ke jalan untuk bekerja, masih adakah waktu bagi mereka untuk belajar? Masihkah mereka sanggup untuk belajar sepulang bekerja? Apakah mereka masih mampu berkonsentrasi untuk belajar? Haruskah juga waktu bermain dan berinteraksi dengan teman sebayanya dikorbankan untuk mencari nafkah di jalan atau dimana saja untuk mendapatkan upahan?
Sebagai pamungkas, ada pertanyaan yang perlu kita renungkan. Apa yang kita rasakan ketika melihat anak kecil berjualan koran di perempatan jalan? Mungkin saja ada anak-anak tetangga kita yang hidup menggelandang dan menjadi pengemis. Tanggung jawab siapakah mereka? Mereka tentu saja hidup di sekitar kita. Di antara mereka ada yang menjadi tetangga kita. Mereka ada yang satu kampung dengan kita. Kita seharusnya malu jika ada anak-anak kecil yang hidup mengemis dan menggelandang di jalanan. Jika itu dilakukan akibat kemiskinan, tentu saja dalam satu kampung tidak semuanya miskin. Kenapa yang kaya tidak mengentaskan beban tetangganya yang miskin? Bukankah itu menjadi tanggung jawab sosial dan keagamaan?
HENDRA SUGIANTORO, 17/10/08

Menggugah Suasana Batin Kaum Muda

SUASANA batin yang menghinggapi kaum muda pada tahun 1928 silam adalah suasana batin rakyat. Ketertindasan akibat kekuasaan kolonial ketika itu begitu menyengsarakan penduduk di negeri ini. Banyak rakyat menderita, tak kuasa sekadar mendapatkan ruang hidup sebagai manusia yang merdeka. Atas kenyataan yang terjadi, kaum muda tak tinggal diam dan berusaha merefleksikan perjuangan sebelumnya. Suasana batin rakyat adalah suasana batin kaum muda sehingga muncullah inisiatif menggelar Kongres Pemuda II di Jakarta, 27-28 Oktober 1928.

Sebelum Kongres Pemuda II, kaum muda pun sudah bertekad untuk mencari jalan keluar dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme penjajah lewat Kongres Pemuda I pada 20 April-2 Mei 1926. Namun, takdir sejarah menghendaki tahun 1928 sebagai momentum lahirnya wajah Indonesia secara lebih nyata. Refleksi atas perjuangan mengusir penjajah yang terkotak-kotak sebelumnya menyadarkan kaum muda untuk menyatukan batin antarberbagai pergerakan dari barat hingga timur Indonesia . Batin kaum muda yang merupakan representasi dari kondisi batin rakyat akhirnya menjadi kekuatan dahsyat dengan sumpah setianya; satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan: Indonesia .

Sebentar lagi peristiwa bersejarah itu akan menginjak usia yang ke-80 tahun. Sumpah Pemuda yang terus diperingati tentu harapannya tak sekadar membangkitkan romantisme semata. Dalam hal ini, seperti dahulu kaum muda berhimpun ingin menciptakan Indonesia yang bangun jiwanya dan bangun badannya, kini pun kaum muda perlu memiliki ruh yang sama. Jika dahulu keterikatan kaum muda bertujuan mengenyahkan kolonialisme penjajah dari tanah persada, kaum muda juga dituntut serupa berperan sesuai konteks zamannya.

Tentu saja pentingnya kesadaran kaum muda sebagai pilar kebangunan bangsa perlu ditumbuhkan. Kesadaran bahwa kaum muda saat ini akan menentukan wajah Indonesia di kemudian hari. Siapa pun telah mengerti jika masa depan akan terdiri dari orang-orang yang hari ini menjadi kaum muda. Dengan kata lain, bagaimana Indonesia di masa depan adalah bagaimana kaum muda berpikir saat ini (Fahri Hamzah, 2007). Kaum muda memang dituntut menyadari peran dan tanggung jawabnya memajukan negeri yang dipijaknya.

Kaum muda yang menggagas Sumpah Pemuda 1928 lalu pastinya merupakan kaum intelektual yang termasuk kelas menengah. Sebagai kaum terdidik, mereka merasa terpanggil nurani dan jiwanya terhadap kenyataan negeri yang kian mencekam akibat penjajahan. Suasana batin mereka menyatu dengan suasana batin rakyat yang tertindas. Pendidikan kaum muda ketika itu tak terlepas dari kebijakan Politik Etis Hindia Belanda meskipun secara tak kasat mata juga dimaksudkan untuk mendukung eksitensi kekuasaan penjajah. Namun, kaum muda intelektual saat itu tak begitu saja mudah disetir sesuai selera Belanda. Di antara mereka ada yang masih peduli dan merasa sebagai bagian dari “nyawa” Indonesia dan menjadi kaum intelektual organik—meminjam istilah Gramschi. Konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. "Traktat" Batavia 28 Oktober 1928, cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah, penduduk, dan bahasa (Safari Daud, 2006).

Tentu saja sebagian di antara kaum muda terdidik saat itu tak semuanya mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa. Ada di antara mereka yang justru menjadi bagian dari kekuasaan penjajah. Suasana batin rakyat yang penuh penderitaan tidak menjadi suasana batin mereka. Mereka menjadi priyayi-priyayi baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Sedangkan tujuan mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ, proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial (Ismatillah A Nu’ad, 2008).

Karena itu, mengaktualisasikan spirit Sumpah Pemuda di era kini, kaum muda perlu terpanggil melakukan pengabdian dan menjadi agen transformasi sosial. Tampilnya kaum muda yang menyemarakkan kontestasi pemilihan presiden ataupun menjadi anggota legislatif 2009 setidaknya layak diapresiasi. Paling tidak, fakta itu menunjukkan bahwa regenerasi kepemimpinan di negeri ini tidaklah macet sama sekali. Di tengah dominasi kaum tua, kaum muda ternyata masih bisa menunjukkan taringnya. Namun demikian, tujuan kaum muda itu selayaknya perlu menjadi perenungan. Jikasanya tampilnya kaum muda sekadar meraih kekuasaan, maka harapan perubahan di republik ini sekadar impian di negeri dongeng. Memang pilihan ada di tangan kaum muda, apakah menjadikan kekuasaan sebagai—meminjam Alfan Alfian—tujuan utama (ultimate goal) ataukah tujuan antara (intermediate goal). Apakah majunya kaum muda itu merefleksikan suasana batin rakyat saat ini?

Harapannya, kaum muda menjadikan kekuasaan sebagai intermediate goal; tujuan utama kaum muda lebih jauh lagi adalah menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan bangsa dan negara. Atau sebagaimana amanat konstitusi, kekuasaan digunakan untuk mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, kaum muda saat ini perlu menyatupadu dalam batin rakyat yang masih kekurangan dan hidup dalam keterhimpitan. Kolonialisme penjajah sudah berlalu di negeri ini, tapi kemiskinan adalah musuh bersama yang mesti dienyahkan. Keterbelakangan dan kebodohan harus segera diatasi demi terwujudnya Indonesia yang bermartabat. Kondisi batin rakyat yang terpuruk dalam ketidakberdayaan selayaknya menjadi batin kaum muda untuk kemudian bergerak menuntaskan perubahan. Pertanyaannya, apakah suasana batin kaum muda seperti suasana batin dirasakan rakyat? Jika tidak, kaum muda belum saatnya untuk memimpin! Wallahu a’lam. HENDRA SUGIANTORO

Kita Pemenang Ramadhan?

IBADAH puasa Ramadhan. Alangkah bahagia bagi siapa pun yang dapat melalui ibadah puasa Ramadhan dengan menjadi manusia bertakwa. Yang jelas, takwa merupakan ukuran yang bersifat Ilahiah. Jadi, kita—sekelas kyai sekalipun—tak mampu mengukur tingkatan takwa. Dengan demikian, biarlah Tuhan yang mengetahui, karena Dia Maha Tahu, keberhasilan hamba-Nya dalam menggenggam takwa.

Seperti biasa, ”kita telah mencapai kemenangan” senantiasa didengungkan saat akhir Ramadhan tiba. Tentu saja, bagi kita yang bisa menginternalisasi makna dan menyelami hikmah sedalam-dalamnya dari ibadah puasa, kita layak meraih kemenangan. Kemenangan yang begitu bermakna ketika berimbas pada ruang lingkup kemanusiaan. Karena puasa, kata Yudi Latif, merupakan wahana pertemuan antara tauhidullah dan tauhidul ummah, antara perkhidmatan kepada Tuhan dan perkhidmatan kepada kemanusiaan. Tanpa memberi dampak sosial, puasa tak menemukan relevansi. Puasa sejatinya adalah media Tuhan untuk menempa diri kita agar terus memantapkan tujuan penciptaan. Tercipta untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan tak sekadar lembaran teks tak meruang, tapi memang harus diejawantahkan di dunia nyata.

Namun, seberapa sering kita menapaki ibadah puasa belum berbanding lurus dengan kebaikan kehidupan. Bertahun-tahun ibadah puasa menghampiri ternyata belum kuasa mencerahkan wajah negeri. Bukankah proklamasi kemerdekaan 1945 dibacakan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia bertepatan dengan bulan Ramadhan? Lebih monumental lagi, pembacaan teks proklamasi itu persis saat peringatan Nuzulul Qu’ran yang jatuh setiap tanggal 17 Ramadhan. Jadi, sungguh takjubnya kita mengetahui negeri ini dinyatakan kemerdekaannya pada bulan yang mulia, bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh ampunan. Lalu, mengapa lahirnya negeri Indonesia di bulan suci Ramadhan tak berbanding lurus dengan kondisi senyatanya negeri ini?

Sadar atau tidak, puasa kita sejujurnya hanya berhenti pada tataran fisik, tidak makan dan minum. Kemenangan yang hendak diraih di akhir Ramadhan seakan-akan dimaknai sebagai kemenangan melewati ibadah ”melelahkan” setelah sebulan menahan lapar-dahaga selama 12 jam dalam sehari. Kita menyatakan telah menang dengan kuatnya menghentikan asupan makanan dan minuman dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Kemenangan itu tentu dimaknai secara keliru.

Pastinya, siapa pun kita tentu menyadari bahwa Ramadhan yang senantiasa dijalankan setiap tahun takkan memberikan perubahan jika kita sendiri tidak berkomitmen melakukan perubahan. Maka, harus ada relevansi antara puasa dengan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Puasa yang kita lakukan harus berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak, puasa yang kita lakukan tak memiliki makna signifikan. Tak adanya perubahan sikap dan perilaku yang dapat menebarkan kemaslahatan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara berarti puasa kita menuai kegagalan.

Penting untuk kita tanamkan, Indonesia kini dan masa depan berada di tangan kita. Masing-masing diri kita memiliki tanggung jawab membawa negeri ini lebih bermartabat dan mampu bereksistensi di masa mendatang. Setiap perilaku negatif sekecil apapun yang kita lakukan sedikit banyak akan berdampak buruk bagi bangunan megah Indonesia . Mengutip Bung Karno, Indonesia merdeka adalah suatu jembatan emas menuju gedung Indonesia yang sempurna. Dalam meniti jembatan emas tersebut, puasa semestinya mampu memperteguh nilai-nilai positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar gedung Indonesia yang sempurna dapat terwujud, maka puasa kita seyogianya memiliki dampak bagi kebangunan bangsa. Dengan begitu, kita layak menjadi sang pemenang.

Tentunya, saat kita menyaksikan fenomena kehidupan tentu meyimpan perih keprihatinan. Korupsi bukannya dihindari, tapi malah menjadi profesi melenakan. Tandusnya hutan akibat ulah jahil manusia telah membawa kepapasengsaraan di negeri ini. Tidak mau ketinggalan dengan tingkah laku negatif elite di lingkaran kekuasaan, masyarakat di tingkat akar rumput menebar ketidaknyamanan dengan aksi-aksi kriminalitas. Korupsi, illegal logging, dan juga kriminalitas hanyalah sebagian kecil dari perilaku-perilaku manusia yang tak mampu membumikan tuntunan-tuntunan Ilahiah dalam realitas kehidupan. Maka, berbahagialah bagi kita yang menjadi sang pemenang ketika Ramadhan berakhir. Kemenangan yang benar-benar sejati. Kemenangan dalam menaklukkan ego dan nafsu diri untuk menyatu padu dalam derap kehidupan semesta. Setiap pengendalian diri, kejujuran, kesabaran, semangat kebajikan dan antikemungkaran, serta kepeduliaan sosial dipersembahkan bagi terwujudnya kemaslahatan negeri. Itulah sejatinya kemenangan. Sebagaimana tutur Salahuddin Wahid, kita baru bisa dianggap memenangi puasa setelah mampu meneruskan perilaku kejujuran, kedispilinan, pengendalian diri, kasih sayang, dan kesabaran yang diperoleh pada bulan puasa dalam kehidupan sehari-hari selama 11 bulan berikutnya setelah Ramadan. Ramadhan telah usai, kitalah sang pemenang?
HENDRA SUGIANTORO



b



a