Kita Pemenang Ramadhan?

IBADAH puasa Ramadhan. Alangkah bahagia bagi siapa pun yang dapat melalui ibadah puasa Ramadhan dengan menjadi manusia bertakwa. Yang jelas, takwa merupakan ukuran yang bersifat Ilahiah. Jadi, kita—sekelas kyai sekalipun—tak mampu mengukur tingkatan takwa. Dengan demikian, biarlah Tuhan yang mengetahui, karena Dia Maha Tahu, keberhasilan hamba-Nya dalam menggenggam takwa.

Seperti biasa, ”kita telah mencapai kemenangan” senantiasa didengungkan saat akhir Ramadhan tiba. Tentu saja, bagi kita yang bisa menginternalisasi makna dan menyelami hikmah sedalam-dalamnya dari ibadah puasa, kita layak meraih kemenangan. Kemenangan yang begitu bermakna ketika berimbas pada ruang lingkup kemanusiaan. Karena puasa, kata Yudi Latif, merupakan wahana pertemuan antara tauhidullah dan tauhidul ummah, antara perkhidmatan kepada Tuhan dan perkhidmatan kepada kemanusiaan. Tanpa memberi dampak sosial, puasa tak menemukan relevansi. Puasa sejatinya adalah media Tuhan untuk menempa diri kita agar terus memantapkan tujuan penciptaan. Tercipta untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan tak sekadar lembaran teks tak meruang, tapi memang harus diejawantahkan di dunia nyata.

Namun, seberapa sering kita menapaki ibadah puasa belum berbanding lurus dengan kebaikan kehidupan. Bertahun-tahun ibadah puasa menghampiri ternyata belum kuasa mencerahkan wajah negeri. Bukankah proklamasi kemerdekaan 1945 dibacakan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia bertepatan dengan bulan Ramadhan? Lebih monumental lagi, pembacaan teks proklamasi itu persis saat peringatan Nuzulul Qu’ran yang jatuh setiap tanggal 17 Ramadhan. Jadi, sungguh takjubnya kita mengetahui negeri ini dinyatakan kemerdekaannya pada bulan yang mulia, bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh ampunan. Lalu, mengapa lahirnya negeri Indonesia di bulan suci Ramadhan tak berbanding lurus dengan kondisi senyatanya negeri ini?

Sadar atau tidak, puasa kita sejujurnya hanya berhenti pada tataran fisik, tidak makan dan minum. Kemenangan yang hendak diraih di akhir Ramadhan seakan-akan dimaknai sebagai kemenangan melewati ibadah ”melelahkan” setelah sebulan menahan lapar-dahaga selama 12 jam dalam sehari. Kita menyatakan telah menang dengan kuatnya menghentikan asupan makanan dan minuman dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Kemenangan itu tentu dimaknai secara keliru.

Pastinya, siapa pun kita tentu menyadari bahwa Ramadhan yang senantiasa dijalankan setiap tahun takkan memberikan perubahan jika kita sendiri tidak berkomitmen melakukan perubahan. Maka, harus ada relevansi antara puasa dengan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Puasa yang kita lakukan harus berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak, puasa yang kita lakukan tak memiliki makna signifikan. Tak adanya perubahan sikap dan perilaku yang dapat menebarkan kemaslahatan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara berarti puasa kita menuai kegagalan.

Penting untuk kita tanamkan, Indonesia kini dan masa depan berada di tangan kita. Masing-masing diri kita memiliki tanggung jawab membawa negeri ini lebih bermartabat dan mampu bereksistensi di masa mendatang. Setiap perilaku negatif sekecil apapun yang kita lakukan sedikit banyak akan berdampak buruk bagi bangunan megah Indonesia . Mengutip Bung Karno, Indonesia merdeka adalah suatu jembatan emas menuju gedung Indonesia yang sempurna. Dalam meniti jembatan emas tersebut, puasa semestinya mampu memperteguh nilai-nilai positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar gedung Indonesia yang sempurna dapat terwujud, maka puasa kita seyogianya memiliki dampak bagi kebangunan bangsa. Dengan begitu, kita layak menjadi sang pemenang.

Tentunya, saat kita menyaksikan fenomena kehidupan tentu meyimpan perih keprihatinan. Korupsi bukannya dihindari, tapi malah menjadi profesi melenakan. Tandusnya hutan akibat ulah jahil manusia telah membawa kepapasengsaraan di negeri ini. Tidak mau ketinggalan dengan tingkah laku negatif elite di lingkaran kekuasaan, masyarakat di tingkat akar rumput menebar ketidaknyamanan dengan aksi-aksi kriminalitas. Korupsi, illegal logging, dan juga kriminalitas hanyalah sebagian kecil dari perilaku-perilaku manusia yang tak mampu membumikan tuntunan-tuntunan Ilahiah dalam realitas kehidupan. Maka, berbahagialah bagi kita yang menjadi sang pemenang ketika Ramadhan berakhir. Kemenangan yang benar-benar sejati. Kemenangan dalam menaklukkan ego dan nafsu diri untuk menyatu padu dalam derap kehidupan semesta. Setiap pengendalian diri, kejujuran, kesabaran, semangat kebajikan dan antikemungkaran, serta kepeduliaan sosial dipersembahkan bagi terwujudnya kemaslahatan negeri. Itulah sejatinya kemenangan. Sebagaimana tutur Salahuddin Wahid, kita baru bisa dianggap memenangi puasa setelah mampu meneruskan perilaku kejujuran, kedispilinan, pengendalian diri, kasih sayang, dan kesabaran yang diperoleh pada bulan puasa dalam kehidupan sehari-hari selama 11 bulan berikutnya setelah Ramadan. Ramadhan telah usai, kitalah sang pemenang?
HENDRA SUGIANTORO