Menimbang Peluang Pemimpin Alternatif

PERUBAHAN merupakan dambaan setiap rakyat. Perubahan itu tentu menuju pada keadaan yang lebih baik. Rakyat akan memilih seorang pemimpin jika pemimpin itu bisa membawa perubahan. Karena jargon perubahan yang senantiasa didengungkan, Obama pun tampil sebagai presiden kulit hitam pertama di negeri Amerika Serikat (AS) dalam usia 47 tahun. Begitu pun di negeri ini, rakyat sebenarnya juga merindukan perubahan.

Melihat pemilihan presiden AS, peluang munculnya tokoh-tokoh alternatif memang terbuka lebar dengan adanya konvensi di setiap partai di negeri itu, baik Partai Demokrat maupun Partai Republik. Sebelum naik menjadi Presiden AS ke-44, Obama harus melewati kompetisi yang ketat bersama kandidat-kandidat lainnya dari Partai Demokrat. Dengan dasar kapabilitas, integritas, serta visi yang kuat, Obama pun terpilih menjadi capres untuk bersaing dengan capres dari Partai Republik. Pertanyaannya, apakah kondisi di AS dapat terjadi di “negeri multi partai” Indonesia ini?

Tampilnya pemimpin muda seperti Obama harus diakui tak begitu mudah. Di negeri ini, parpol yang ada selalu bertumpu pada tokoh-tokoh tua berwajah lama dan kurang memberikan peluang kepada tokoh-tokoh berwajah baru. Tokoh-tokoh muda sepertinya tak kuasa berhadapan dengan hegemoni tokoh-tokoh tua di dalam parpol. Untuk memunculkan pemimpin alternatif dalam Pilpres 2009 sepertinya masih jauh dari harapan. Meskipun demikian, karena politik penuh dengan kemungkinan, peluang munculnya pemimpin alternatif belum tertutup sama sekali. Lantas, apa kriteria dari pemimpin alternatif yang dimaksud?

Sampai detik ini ada sejumlah nama yang akan atau dimungkinkan mencalonkan diri menjadi capres. Nama-nama itu sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Sri Sultan HB X, Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, M Fadjroel Rachman, Rizal Mallarangeng, bahkan Yuddy Chrisnandi. Meskipun belum pasti maju, nama-nama tersebut sudah berterus terang siap memimpin Indonesia di periode mendatang. Adapun nama-nama lainnya ada Soetrisno Bachir, Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, dan Amien Rais. Dari sederet nama itu, adakah pemimpin alternatif yang bisa dinaikkan? Menurut penulis, pemimpin alternatif adalah tokoh yang belum terkontaminasi kekuasaan lama. Ini didasarkan asumsi bahwa tokoh yang pernah masuk dalam kekuasaan sebelumnya merupakan representasi ide-ide konservatif yang sulit membawa perubahan. Dengan kata lain, pemimpin alternatif adalah tokoh berwajah baru dan segar. Tidak mempersoalkan berusia muda atau tua, pemimpin alternatif ini yang jelas adalah tokoh yang menghasung ide-ide progresif. Adapun tokoh progresif cenderung identik dengan tokoh yang belum pernah memasuki lingkaran kekuasaan Jakarta sebelumnya. Pemimpin alternatif adalah sosok yang tidak terlibat atau diindikasikan terlibat dalam korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu.

Melihat kemungkinan peta pencalonan presiden, pemimpin alternatif sebenarnya cukup banyak. Jika ukuran pemimpin alternatif adalah tokoh-tokoh muda, ada banyak pilihan seperti Hidayat Nur Wahid, Fadjroel Rachman, Yuddy Chrisnandi, dan tokoh-tokoh muda lainnya. Jika ukurannya adalah tokoh yang belum terkontaminasi kekuasaan di pusat, tokoh itu salah satunya adalah Sri Sultan HB X yang sudah menyatakan kesiapannya menjadi Presiden 2009.

Tentu saja, jika tampilnya pemimpin alternatif merupakan aspirasi rakyat, parpol seyogianya bisa mengusahakannya. Karena PDIP dan Partai Demokrat (PD) sudah pasti mengusung Megawati dan SBY, maka parpol yang harus mengusahakannya adalah parpol menengah ke bawah. Dengan ketentuan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara dalam pemilu legislatif, peluang munculnya pemimpin alternatif masih memungkinkan jika parpol-parpol menengah ke bawah sudi melakukan koalisi. Sebut saja PKB, PAN, PKS, dan PPP yang bisa berkoalisi karena peluang keempat parpol itu memiliki jumlah suara sekitar 5% masih memungkinkan. Jika itu terjadi, maka pemimpin alternatif bisa muncul dan ikut bersaing dalam Pilpres 2009. Yang menarik di sini adalah posisi Partai Golkar. Tak bisa dimungkiri jika Partai Golkar memainkan “kartu as”. Partai Golkar bisa memperkuat kehadiran pemimpin alternatif jika ikut dalam koalisi parpol menengah ke bawah dengan catatan tidak mengusung Jusuf Kalla. Itu juga berarti SBY dimungkinkan bisa mengalami nasib buruk tidak bisa tampil dalam Pilpres 2009 karena perolehan suara PD diperkirakan masih sulit menembus 20%. Jika PD mau ikut berkoalisi, tentu saja harus merelakan kursi RI-1 bukan pada SBY. Lantas, apakah skenario seperti itu bakal terjadi?

Koalisi antarparpol menengah ke bawah dimungkinkan sulit terwujud jika tidak memiliki kesamaan misi menaikkan tokoh alternatif. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tentu tetap mempertahankan posisi Wiranto sebagai capres. Jika persyaratan jumlah suara tidak mencapai 20%, koalisi akan ditempuh Partai Hanura. Hal yang sama akan ditempuh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mengusung “panglima perang” Prabowo Subianto. Dua sosok mantan militer dari dua parpol berbeda itu tentu bukanlah kriteria pemimpin alternatif karena keduanya pernah terlibat dalam kekuasaan sebelumnya.

Dengan segala kemungkinan, pemimpin alternatif masih bisa diharapkan asalkan parpol menengah seperti PAN, PKB, PKS, dan PPP tidak merapat ke PDIP, PD, atau Partai Golkar. Lebih penting lagi, koalisi parpol menengah ke bawah jangan sekadar menaikkan calon pemimpin, tapi harus memiliki agenda yang jelas. Agenda perubahan harus menjadi titik pijak dalam menentukan pemimpin alternatif yang nantinya akan diusung dalam Pilpres 2009. Kontrak politik dengan pemimpin alternatif perlu dilakukan untuk menghasung agenda-agenda perubahan selama memerintah. Kerangka agenda perubahan tetap mengacu pada amanat konstitusi, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Yang juga perlu diperhatikan, koalisi antarparpol menengah ke bawah harus mampu menjaga konsistensi di dalam parlemen untuk memperkuat posisi pemimpin alternatif ketika berhasil menduduki kursi RI-1. Pastinya, politik adalah seni ketidakmungkinan. Bukankah apapun bisa saja terjadi dalam politik? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 28/10/08