Perubahan, Tren Janji Kampanye

KEMENANGAN Barack Hussein Obama (47) dalam pemilihan presiden Amerika Serikat mampu menyita perhatian publik. Tidak hanya masyarakat AS, masyarakat di luar AS pun terbalut kegembiraan yang mengharubiru. Apalagi di Indonesia, kemenangan presiden dari Partai Demokrat itu disambut keceriaan sekaligus kebanggaan. Bagaimana tidak bangga, Barack Obama yang kini menjadi Presiden AS ke-44 itu pernah hidup di Indonesia.

Jargon perubahan yang disuarakan Obama memang diakui mampu menyedot antusiasme masyarakat AS yang tengah dilanda pesimisme akibat dampak kebijakan Bush. Krisis keuangan yang melanda AS setidaknya menambah kerinduan bagi masyarakat AS untuk sesegera mungkin menghadirkan wajah baru. Tak ada tawaran lain, Obama adalah wajah baru itu yang diharapkan mampu mengatasi krisis agar AS tidak terjerembab dalam keterpurukan. Harapan itu masih ada. Masyarakat AS pun berharap kepada Obama, sosok berkulit hitam yang pertama kali mampu menjadi presiden setelah dua abad lebih diduduki presiden berkulit putih.

Disadari atau tidak, setiap kampanye di negara manapun selalu menghasung sebuah tema perubahan. Seperti dilakukan Obama, kampanye calon presiden dan calon anggota legislatif di negeri ini juga mengangkat isu perubahan untuk mempengaruhi publik. Ketika Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla berhasil unggul di putaran kedua dalam pemilihan presiden pada 2004 silam, masyarakat Indonesia pun begitu gegap gempita. Kemenangan dengan perolehan prosentase lebih dari 50 % atas pasangan Megawati-Hasyim Muzadi menegaskan dukungan signifikan masyarakat. Seperti Obama yang membius masyarakat AS dengan kalimat ”Yes We Can”, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla meneriakkan ”Bersama Kita Bisa”. Harapan masyarakat AS atas Obama juga dirasakan masyarakat Indonesia sekitar empat tahun lalu. Bedanya, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tidak diharapkan hampir seluruh dunia seperti Obama.

Tentu saja, siapa pun sulit memastikan apakah AS di tangan Obama akan menghadirkan perubahan-perubahan berarti. Masih perlu bukti lebih lanjut dari Obama terkait janji perubahannya selama kampanye. Begitu pun kampanye di negeri ini tidak menjamin apa yang dijanjikan para politisi akan berwujud nyata. Lantas, apa yang akan membedakan setiap kampanye yang selalu mengarusutamakan perubahan?

Jawabannya adalah bukti nyata. Tidak sekadar ucapan, tapi realisasi di lapangan ketika terpilih menduduki kursi kekuasaan. Dalam masa kampanye begitu sering janji-janji diumbar di depan publik, tapi apakah politisi akan mewujudkan janji itu di alam realitas? Yang jelas, masyarakat di negeri ini sudah terasa jenuh menikmati demokrasi yang tidak berdampak positif. Demokrasi yang terkesan hanya hiruk-pikuk pemilihan tanpa berbanding lurus dengan perbaikan taraf hidup masyarakat pada akhirnya berujung apatisme. Pada titik tertentu, masyarakat tidak begitu menghiraukan persoalan politik karena sudah merasa masa bodoh dengan wacana politik yang ada. Fenomena golput yang mencuat dalam pemilihan kepala daerah setidaknya menegaskan ketidaksetujuan masyarakat terhadap demokrasi yang hanya sebagai alat untuk menyejahterakan kaum elite. Lewat golput, masyarakat melakukan kritik terhadap demokrasi yang diselenggarakan bukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Pengungkapan janji-janji dalam kampanye memang tidak dilarang. Politisi di negeri ini berhak mengungkapkan apapun yang merupakan idealita kepada masyarakat. Yang menjadi persoalan adalah ketika janji-janji yang disodorkan dalam kampanye bukan dijadikan pengikat komitmen untuk diterjemahkan secara nyata. Dengan kata lain, janji-janji selama kampanye sekadar manis di bibir belaka.

Pastinya, tujuan perebutan pengaruh agar memiliki suara signifikan dalam ajang pemilu merupakan keniscayaan. Namun demikian, perebutan suara bukan berarti menghendaki janji-janji kampanye yang tidak terukur. Mendengar janji pengentasan penduduk dari kemiskinan memang menimbulkan rasa senang masyarakat, tapi politisi lupa bahwa mengurangi tingkat kemiskinan di negeri ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ketika politisi menjanjikan itu, masyarakat tentu saja berpikir bahwa kemiskinan akan teratasi segera. Pun, pendidikan akan murah dan kesehatan akan terjamin dengan waktu yang secepatnya. Menghadapi musim kampanye yang akan ”memanas” ke depan, parpol seyogianya membangun kesadaran politisi atau juru kampanyenya untuk tidak mudah membuat janji-janji kepada masyarakat. Alangkah lebih baik jika kampanye berisi informasi objektif kondisi Indonesia agar masyarakat juga dibelajarkan memahami realitas faktual. Politisi perlu mengajak masyarakat untuk membangun visi dan spirit bersama terkait masa depan Indonesia.

Kini sudah saatnya bagi politisi untuk menghayati kembali peran politiknya. Politik memang identik dengan kekuasaan, namun kekuasaan bukanlah tujuan utama. Kemiskinan, pengangguran, hak asasi manusia, dan pendidikan bukanlah komoditas politik yang dijual murah lewat buaian-buaian janji di hadapan rakyat. Politisi selayaknya sudah menyadari bahwa membangun kehidupan bangsa dan negara adalah kewajiban sekaligus keharusan. Artinya, berpikir, berjuang, dan berkarya bagi kebangunan dan keberlanjutan negeri ini sudah dengan sendirinya merupakan kewajiban bagi politisi tanpa harus dikampanyekan di hadapan rakyat.

Yang perlu diingat, para pendiri negeri ini sudah meletakkan visi besar untuk Indonesia, yakni terwujudnya negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan visi itu, politisi harus menyadari tujuan dari didirikannya pemerintahan negara ini, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sekali lagi, tanpa dikampanyekan pun, politisi seharusnya sudah memahami tugas dan kewajiban tersebut. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 2/12/08