Laskar Pelangi dan Sumpah Pemuda

Fenomenal. Itulah kata yang merangkum segenap apresiasi terhadap munculnya “Laskar Pelangi”, baik dalam bentuk novel maupun film. Novel goresan pena Andrea Hirata mampu menyedot perhatian publik yang kabarnya terjual puluhan ribu per bulannya. Sungguh hal yang prestisius. Diterbitkan pertama kali pada tahun 2005 oleh penerbit Bentang Pustaka, novel setebal 529 halaman ini kuasa menghadirkan sisi lain dari karya sastra. Sisi yang mampu memberikan inspirasi dan semangat hidup dalam dunia realitas.

Tak jauh berbeda dengan novelnya, film “Laskar Pelangi” yang digarap oleh Riri Reza juga menyedot perhatian kaum sufi (suka film). Riri Reza mampu menggarap film berdurasi 120 menit itu dengan apik meskipun terdapat tiga tokoh baru di luar novel aslinya. Meski demikian, film garapan Riri Reza tak mengurangi substansi yang ingin dihadirkan, yakni perjuangan sepuluh anak (juga Ibu Muslimah) yang ingin menciptakan perubahan besar dalam kehidupan. Perubahan besar itu bukanlah utopia asalkan memiliki semangat dan mentalitas kerja keras untuk menggapai cita-cita. Di tengah kehidupan yang kesusahan, Ibu Muslimah tampil sebagai “Sang Guru” bagi Ikal dan teman-temannya di SD Muhammadiyah Gantung, Belitong.

Suasana batin sepuluh anak yang menyebut diri sebagai “Laskar Pelangi” itu tentu saja adalah suasana keprihatinan. Keterhimpitan hidup dalam kepapaan ternyata tak menjadikan mereka berputus asa. Dengan satu semangat menggapai kehidupan yang lebih baik, mereka berupaya menciptakan perubahan melalui pendidikan. Suasana batin anak-anak itu juga menghinggapi para pemuda 80 tahun silam. Para pemuda dari beragam etnis pada 1928 menyatukan diri dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 demi terwujudnya Indonesia merdeka. Suasana batin para pemuda menyaksikan jerit pilu rakyat akibat penindasan penjajah Belanda membuncahkan semangat satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Dalam “Laskar Pelangi”, keragaman etnis juga tampak dengan satu anak Tionghoa bernama A Kiong. A Kiong keturunan Tionghoa itu hidup menyatu dalam “Laskar Pelangi” tanpa harus merasa hidup di “planet lain”. Sebagaimana Kongres Pemuda II di Jakarta pada 1928 silam, pemuda Tionghoa juga turut hadir, yakni Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Konon tempat dibacakannya Sumpah Pemuda adalah rumah kepunyaan seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong. Sungguh menakjubkan. Ya, itulah semangat yang selayaknya dimiliki anak-anak muda masa kini untuk mampu hidup bersama dalam perbedaan. Jika anak-anak dalam “Laskar Pelangi” ingin merubah kehidupan sosial dan ekonomi di Belitong, maka anak-anak muda zaman kini sudah seharusnya memiliki semangat serupa. Anak-anak muda dari berbagai daerah yang dihuni beragam kelompok perlu hidup rukun dalam satu cita-cita membangun daerahnya. Nasionalisme sebagai satu bangsa yang diikrarkan pada tahun 1928 adalah perasaan mencintai dan ingin berbuat nyata bagi kebangunan Indonesia . Anak-anak muda sudah sewajarnya membangun daerahnya masing-masing dengan spirit nasionalisme bahwa membangun daerah untuk lebih maju juga berarti membangun negeri Indonesia .

Pastinya, semangat anak-anak dalam “Laskar Pelangi” sungguh diharapkan mampu menjadi kepribadian anak-anak Indonesia di negeri ini. Anak-anak muda sebagai penerus perjalanan bangsa perlu memiliki spirit tak kenal menyerah. Pun, ketekunan dan kerja keras adalah keniscayaan bagi terciptanya impian dan cita-cita. Anak-anak muda perlu memiliki mentalitas kerja keras, mandiri, percaya diri, dan lebih penting lagi adalah kepemilikan tanggung jawab sosial untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Sebagaimana para pemuda yang bersumpah setia pada tahun 1928, anak-anak muda perlu membebaskan kehidupan masyarakatnya dari penjajahan: kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Di sisi lain, kita perlu juga menyadari aspek pendidikan bagi terbangunnya jiwa anak-anak muda. Para pemuda yang berinisiatif dan menggagas Sumpah Pemuda 1928 diakui mendapatkan penempaan pendidikan yang matang. Seperti dikatakan Safari Daud (2006), konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran pemuda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. Karenanya, kita jangan sekadar berteriak-teriak bahwa anak-anak muda adalah generasi masa depan, tapi seyogyianya menyediakan ruang pendidikan bagi tumbuh kembang anak-anak muda.

Dalam hal ini, ruang pendidikan bagi anak-anak muda tidak bisa melepaskan peran guru di dalamnya. Bu Muslimah sebagai guru dalam “Laskar Pelangi” bisa menjadi cermin pentingnya guru bagi perkembangan intelektual, mental, dan spiritual anak-anak muda. Bu Mus mengajar dan mendidik anak-anak di Belitong dengan semangat pengabdian, bukan menjadikan materi sebagai orientasi utama. Bagaimana tidak, dengan hanya bergaji Rp 3.000 per bulan yang kadang dibayar Rp 1.300, Bu Mus terus mendidik anak-anak dalam “Laskar Pelangi” dengan penuh kasih sayang. Bu Mus mampu menjadi “bensin” yang membakar jiwa dan semangat anak-anak didiknya untuk tekun belajar. Sosok Bung Karno pun ditampilkan Bu Mus agar anak-anak didiknya termotivasi untuk menjadi “besar”. Sungguh luar biasa sosok guru Bu Muslimah ini. Maka, tak salah jika mantan Mendikbud kita, Fuad Hasan, pernah mengatakan, “Sebaik apapun kurikulum jika tidak didukung guru yang berkualitas maka semua akan sia-sia”. Guru yang berkualitas tentu tidak hanya di wilayah akademik, tapi juga berkualitas secara moral dan kepribadian, mampu memotivasi anak didik, memiliki dedikasi, dan bercita-cita mulia menjadikan anak-anak didiknya agar lebih manusiawi. Guru yang berkualitas adalah guru yang mampu menjadikan anak-anak didiknya berpikir dan bertindak besar.

Dengan semangat 80 tahun Sumpah Pemuda, sudah saatnya kita menjadi “Bu Muslimah” yang mendidik anak-anak muda agar berpikir dan bertindak besar sebagaimana para pemuda pada 1928 silam. Jika anak-anak muda mampu seperti itu, maka Indonesia maju bukan hanya mimpi. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 24/10/2008