SEBERAPA sering kita melintasi jalan-jalan di kota Yogyakarta ini, begitu sering kita menyaksikan anak-anak kecil yang berpanas-panas ria. Tidak hanya di siang hari, di pagi hari pun kadang mereka menampakkan wajah welasnya. Tidak usah jauh-jauh, di perempatan jalan di sebelah utara redaksi Kompas Jogja sering kali kita lihat keberadaan anak-anak kecil yang mencoba mengais nafkah. Di antara mereka ada yang meminta-minta, mengelap kendaraan tanpa diminta, ataupun menjual koran. Malah sering kali mereka juga bersama orang tuanya. Di perempatan jalan-jalan lain juga sering kali kita saksikan.
Siapapun pasti mengerti, anak merupakan sosok manusia yang memiliki hari depan yang panjang. Anak yang dilahirkan di muka bumi ini tentu memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Ruang kondusif bagi tumbuh kembang anak adalah keniscayaan. Orang tua sekaligus masyarakat sekitar tak lepas dari tanggung jawab untuk memberikan ruang tumbuh kembang secara kondusif sehingga anak dapat melewati perjalanan hidupnya dengan perhatian seksama. Tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak sesuai tahapan perkembangan jelas tak terelakkan.
Namun demikian, ruang tumbuh berkembang anak menjadi memprihatinkan dengan fenomena yang sering kali kita lihat seperti di atas. Boleh jadi perasaan hati kita begitu iba ketika seorang anak yang usianya setingkat sekolah dasar rela berpanas-panas di jalan. Lebih-lebih seorang anak kecil perempuan yang boleh jadi melakukan pekerjaan di jalan tak sesuai dengan keinginan hatinya. Ya, itulah fakta yang masih terjadi di kota ini tanpa perlu disembunyikan. Pertanyaannya, layakkah jika anak-anak kecil itu “berkeliaran” di jalan dan bekerja?
Persoalan anak yang dipekerjakan sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Menjelang abad 20, misalnya, pekerja anak di Indonesia sudah bermunculan ketika penjajah Belanda mulai mengembangkan sektor perkebunan dan industri gula modern. Pekerja anak ini jelas terus bertambah seiring perkembangan zaman dan ketidakmerataan kemakmuran ekonomi penduduk. Biasanya keluarga miskin mengambil jalan keluar untuk mengikutsertakan anak dalam usaha pencarian nafkah. Bahkan, dalam komunitas masyarakat tertentu, anak yang diikutkan sebagai bagian dari sumber ekonomi keluarga sudah dianggap wajar. Dalam studinya, Koentjraningrat (1969) menyebutkan bahwa anak berusia 8 tahun yang membantu orang tua mencari nafkah adalah hal biasa, terutama di wilayah pedesaan.
Pastinya, istilah anak yang bekerja dan pekerja anak perlu diberi garis pembeda. Pekerja anak lebih berkonotasi eksploitatif. Ukuran usia anak di sini adalah mereka yang berusia sampai 18 tahun (UU Perlindungan Anak No 23/2002). Anak boleh saja melakukan pekerjaan di rumah untuk membantu orangtua dalam upaya mengembangkan kepribadian dan ketrampilan hidup asalkan orangtua tidak terlalu mengeksploitasi anak. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Anak sekolah menengah kejuruan yang berusia sekitar 15-18 tahun boleh berkerja di sebuah instansi untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuan bidang jurusannya. Dalam UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa anak paling sedikit berusia 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Meskipun boleh saja bekerja, ada persyaratan yang juga perlu diperhatikan, yakni anak diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan dan diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Dengan demikian, persoalan anak yang bekerja sebenarnya tidak hitam putih. Artinya, anak boleh saja bekerja, tapi tetap ada garis batasnya. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan anak-anak yang sering kali melakukan pekerjaan di jalan kota Yogyakarta ini? Anak-anak yang meminta-minta, menjual koran, ikut orang tuanya mencari nafkah.
Yang jelas, anak-anak seusia mereka semestinya dihindarkan dari beban pekerjaan seperti itu. Mereka seharusnya dapat mengenyam kehidupan yang selayaknya sekaligus pendidikan yang memadai. Anak-anak berhak memperoleh perlindungan dan penghidupan yang layak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Selain itu, anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Jelas anak-anak yang saban hari “berkeliaran” di jalan mengalami ruang aktualisasi yang terhambat. Anak-anak tentu saja perlu mendapatkan perlindungan dari setiap eksploitasi meskipun dengan alasan faktor ekonomi keluarga. Sesuai Pasal 66 UU Perlindungan Anak, anak yang mendapatkan perlakuan eksploitasi ekonomi merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk mengatasinya. Boleh jadi kenyataan adanya anak yang hidup di jalanan di kota Yogyakarta ini akibat kondisi keluarga yang terhimpit secara ekonomi (atau mungkin kemiskinan kultural). Karenanya, pemerintah dan juga masyarakat harus bertindak nyata karena--meminjam Endang Ekawaty—seharusnya mereka berada di sekolah, menimba ilmu untuk bekal mereka di masa depan. Seharusnya waktu mereka dihabiskan untuk belajar, bermain dengan teman sebaya, seharusnya mereka bahagia melakukan hal-hal yang harusnya menjadi hak mereka sebagai anak, seharusnya mereka masih bisa tertawa tanpa beban. Di usia yang masih teramat muda mereka belum saatnya mencari nafkah penyokong hidup keluarga, menjadi tulang punggung keluarga atau sekadar turun ke jalan untuk mencari uang saku. Bila mereka turun ke jalan untuk bekerja, masih adakah waktu bagi mereka untuk belajar? Masihkah mereka sanggup untuk belajar sepulang bekerja? Apakah mereka masih mampu berkonsentrasi untuk belajar? Haruskah juga waktu bermain dan berinteraksi dengan teman sebayanya dikorbankan untuk mencari nafkah di jalan atau dimana saja untuk mendapatkan upahan?
Sebagai pamungkas, ada pertanyaan yang perlu kita renungkan. Apa yang kita rasakan ketika melihat anak kecil berjualan koran di perempatan jalan? Mungkin saja ada anak-anak tetangga kita yang hidup menggelandang dan menjadi pengemis. Tanggung jawab siapakah mereka? Mereka tentu saja hidup di sekitar kita. Di antara mereka ada yang menjadi tetangga kita. Mereka ada yang satu kampung dengan kita. Kita seharusnya malu jika ada anak-anak kecil yang hidup mengemis dan menggelandang di jalanan. Jika itu dilakukan akibat kemiskinan, tentu saja dalam satu kampung tidak semuanya miskin. Kenapa yang kaya tidak mengentaskan beban tetangganya yang miskin? Bukankah itu menjadi tanggung jawab sosial dan keagamaan?
HENDRA SUGIANTORO, 17/10/08