MENDENGAR kata korupsi mungkin membuat jenuh. Maraknya pemberitaan korupsi yang menimpa pejabat negara dan anggota parlemen tentu saja kian membuat pedih masyarakat. Masyarakat seakan-akan dibuat pesimis sekaligus apatis terhadap kinerja pemerintah dan wakilnya di gedung parlemen.
Pastinya, upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti. Memang harus begitu. Betapa pun penyakit korupsi begitu akut menjangkiti ruang-ruang birokrasi di negeri ini, komitmen pemberantasan korupsi harus senantiasa dihunjamkan. Kerja nyata pemberantasan korupsi mutlak dilakukan demi menyelamatkan negeri ini. Hal ini jelas karena korupsi adalah penyebab tidak optimalnya pengalokasian anggaran negara bagi kemaslahatan rakyat. Anggaran negara yang seharusnya dipergunakan sebagaimana mestinya justru dilahap oleh oknum-oknum tak tahu malu. Tak tahu malu karena begitu teganya mengkorupsi harta negara di tengah jerit derita rakyat yang masih terpontang-panting sekadar untuk mencukupi kebutuhan dasarnya.
Korupsi jelas harus diberantas sebelum negeri ini kolaps. Dampak besar dari perilaku negatif korupsi sungguh tak bisa dianggap biasa. Kemiskinan, kelaparan ataupun tak teraksesnya bangku sekolah secara tidak langsung merupakan dampak dari merajalelanya korupsi. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), genderang perang terhadap korupsi mutlak harus ditabuh. Tentu saja, selain pemerintah, pemberantasan korupsi juga menjadi tanggung jawab moral seluruh warga bangsa. Siapa pun kita memang memiliki tanggung jawab moral untuk memberantas korupsi. Yuddy Chrisnandi (2008) dalam bukunya ”Beyond Parlemen” menyebut korupsi sebagai bagian dari 5 K yang harus diperangi segera.
Terkait upaya memerangi korupsi, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang agak ganas perlu kita apresiasi. Meskipun masih mengemuka anggapan belum menyentuh kasus korupsi dalam skala besar, kinerja KPK tetap menunjukkan prestasi sebagai lembaga negara yang ditugasi menangani kasus korupsi. Penegakan hukum yang memberikan efek jera tentu saja tak boleh dilupakan. Harus diakui jika selama ini para koruptor tidak merasa bersalah telah melakukan kejahatan korupsi. Hukuman yang terlalu ringan atau tidak maksimal adalah salah satu sebab tidak jeranya pelaku korupsi untuk menghentikan perbuatannya.
Sebagaimana dimengerti, perang mengindetikkan perlawanan antara dua pihak. Satu pihak di antara dua pihak itu adalah korupsi (dan manusia-manusia pendukungnya). Adapun pihak satunya adalah manusia-manusia antikorupsi. Perang terhadap korupsi tidak selalu dimaknai bersifat ofensif. Pencegahan terhadap tindakan korupsi juga bagian dari bentuk perang terhadap korupsi. Pada titik ini, ada baiknya kita mengkaitkan korupsi dengan individu manusia. Pelaku korupsi jelas manusia. Dengan kata lain, ada tidaknya korupsi tergantung dari manusianya. Jika manusianya bersih dan takut korupsi, maka negeri ini akan bersih dari korupsi. Lantas, bagaimana membentuk manusia yang antikorupsi? Manusia antikorupsi yang berangkat dari kesadaran organis, bukan sekadar karena takut dengan hukuman?
Pembentukan manusia yang antikorupsi tentu tidak dapat dilepaskan dari tugas penting dunia pendidikan. Tidak hanya pendidikan di sekolah, pendidikan dalam keluarga juga memegang peranan yang tak boleh dipandang sebelah mata. Ada pertanyaan yang layak kita renungkan, kalau memang korupsi di negeri ini tumbuh akibat dibiasakan dan selanjutnya menjadi budaya, mengapa kita tidak menciptakan kebiasaan antikorupsi untuk menjadi budaya masa depan?
Menciptakan kebiasaan antikorupsi melalui proses pendidikan sebenarnya sudah dilakukan. Istilah pendidikan antikorupsi sudah lama didengungkan dalam dunia pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan antikorupsi yang dilakukan beberapa sekolah adalah dengan membentuk kantin/warung/koperasi kejujuran. Tujuan dari kantin/warung/koperasi kejujuran ini tak lain untuk menanamkan budaya antikorupsi kepada siswa. Mekanismenya, siswa yang membeli di kantin/warung/koperasi kejujuran tidak perlu diawasi, tapi langsung membayar sendiri sesuai jumlah harga pembelian. Uang pembelian itu dimasukkan ke dalam tempat uang yang memang sengaja diletakkan di kantin/warung/koperasi kejujuran. Jika uang pemasukan ternyata lebih sedikit dari yang seharusnya, maka siswa diketahui telah bertindak tidak jujur. Terlebih dahulu, siswa memang dipahamkan bahwa ketidakjujuran mereka berakibat kerugian bagi kantin/warung/koperasi. Itu juga berarti kerugian bagi mereka karena modal untuk membeli barang kebutuhan kantin/warung/koperasi menjadi seret. Yang jelas, upaya membentuk kantin/warung/koperasi kejujuran di sekolah dapat dikategorikan sebagai bentuk perang terhadap korupsi.
Selain itu, perang terhadap korupsi tentu banyak ragamnya. Tak bisa dilupakan adalah peran dan tanggung jawab keluarga untuk mendidik anak agar antikorupsi. Menyuruh anak berbelanja dan mengembalikan uang kembalian dari belanja, misalnya, adalah salah satu contoh yang bisa diterapkan. Tidak dimungkiri jika ada orang tua yang membiarkan saja uang kembalian belanja karena hanya tak seberapa. Namun, seratus rupiah saja uang kembalian belanja yang dianggap sepele bisa membentuk mentalitas anak ketika bekerja. Tak menjadi soal jika uang kembalian itu diberikan lagi ke anak, namun anak hendaknya dibiasakan melaporkan uang pengeluaran dan uang kembalian dari belanja untuk membentuk sikap disiplin yang tentu bermanfaat bagi anak di hari depan.
Menurut penulis, membentuk mentalitas antikorupsi melalui pendidikan di lingkungan sekolah dan di lingkungan keluarga harapannya terus dijalankan. Selain apa yang diutarakan di atas, upaya pendidikan untuk membentuk mentalitas antikorupsi tentu masih banyak lagi. Pendidikan antikorupsi bagi anak-anak negeri yang masih menimba pendidikan, pendekatan diarahkan pada pembentukan moralitas serta penguatan kesadaran sosial, termasuk pembentukan mentalitas dan karakter yang bersih dari perilaku dan tindakan koruptif. Dengan demikian, ketika menjadi pejabat kelak di kemudian hari, mereka tidak melakukan korupsi. Mereka menjadi pejabat yang betul-betul bekerja untuk rakyat (pamong praja). Menggunakan uang negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa (Moh Yamin: 2008).
Pungkasnya, perang terhadap korupsi secara ofensif yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan memang selayaknya dilakukan untuk menjerat koruptor. Namun, di sisi lain, kita berkewajiban mendidik anak/siswa di masa kini agar bersih dari korupsi. Kebiasaan antikorupsi yang ditanamkan kepada anak/siswa pada saat ini akan menjadi budaya Indonesia di masa depan, yakni budaya Indonesia yang antikorupsi. Tugas mendesak kita adalah melahirkan generasi masa kini yang memiliki budaya antikorupsi untuk masa depan Indonesia . Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pastinya, upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti. Memang harus begitu. Betapa pun penyakit korupsi begitu akut menjangkiti ruang-ruang birokrasi di negeri ini, komitmen pemberantasan korupsi harus senantiasa dihunjamkan. Kerja nyata pemberantasan korupsi mutlak dilakukan demi menyelamatkan negeri ini. Hal ini jelas karena korupsi adalah penyebab tidak optimalnya pengalokasian anggaran negara bagi kemaslahatan rakyat. Anggaran negara yang seharusnya dipergunakan sebagaimana mestinya justru dilahap oleh oknum-oknum tak tahu malu. Tak tahu malu karena begitu teganya mengkorupsi harta negara di tengah jerit derita rakyat yang masih terpontang-panting sekadar untuk mencukupi kebutuhan dasarnya.
Korupsi jelas harus diberantas sebelum negeri ini kolaps. Dampak besar dari perilaku negatif korupsi sungguh tak bisa dianggap biasa. Kemiskinan, kelaparan ataupun tak teraksesnya bangku sekolah secara tidak langsung merupakan dampak dari merajalelanya korupsi. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), genderang perang terhadap korupsi mutlak harus ditabuh. Tentu saja, selain pemerintah, pemberantasan korupsi juga menjadi tanggung jawab moral seluruh warga bangsa. Siapa pun kita memang memiliki tanggung jawab moral untuk memberantas korupsi. Yuddy Chrisnandi (2008) dalam bukunya ”Beyond Parlemen” menyebut korupsi sebagai bagian dari 5 K yang harus diperangi segera.
Terkait upaya memerangi korupsi, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang agak ganas perlu kita apresiasi. Meskipun masih mengemuka anggapan belum menyentuh kasus korupsi dalam skala besar, kinerja KPK tetap menunjukkan prestasi sebagai lembaga negara yang ditugasi menangani kasus korupsi. Penegakan hukum yang memberikan efek jera tentu saja tak boleh dilupakan. Harus diakui jika selama ini para koruptor tidak merasa bersalah telah melakukan kejahatan korupsi. Hukuman yang terlalu ringan atau tidak maksimal adalah salah satu sebab tidak jeranya pelaku korupsi untuk menghentikan perbuatannya.
Sebagaimana dimengerti, perang mengindetikkan perlawanan antara dua pihak. Satu pihak di antara dua pihak itu adalah korupsi (dan manusia-manusia pendukungnya). Adapun pihak satunya adalah manusia-manusia antikorupsi. Perang terhadap korupsi tidak selalu dimaknai bersifat ofensif. Pencegahan terhadap tindakan korupsi juga bagian dari bentuk perang terhadap korupsi. Pada titik ini, ada baiknya kita mengkaitkan korupsi dengan individu manusia. Pelaku korupsi jelas manusia. Dengan kata lain, ada tidaknya korupsi tergantung dari manusianya. Jika manusianya bersih dan takut korupsi, maka negeri ini akan bersih dari korupsi. Lantas, bagaimana membentuk manusia yang antikorupsi? Manusia antikorupsi yang berangkat dari kesadaran organis, bukan sekadar karena takut dengan hukuman?
Pembentukan manusia yang antikorupsi tentu tidak dapat dilepaskan dari tugas penting dunia pendidikan. Tidak hanya pendidikan di sekolah, pendidikan dalam keluarga juga memegang peranan yang tak boleh dipandang sebelah mata. Ada pertanyaan yang layak kita renungkan, kalau memang korupsi di negeri ini tumbuh akibat dibiasakan dan selanjutnya menjadi budaya, mengapa kita tidak menciptakan kebiasaan antikorupsi untuk menjadi budaya masa depan?
Menciptakan kebiasaan antikorupsi melalui proses pendidikan sebenarnya sudah dilakukan. Istilah pendidikan antikorupsi sudah lama didengungkan dalam dunia pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan antikorupsi yang dilakukan beberapa sekolah adalah dengan membentuk kantin/warung/koperasi kejujuran. Tujuan dari kantin/warung/koperasi kejujuran ini tak lain untuk menanamkan budaya antikorupsi kepada siswa. Mekanismenya, siswa yang membeli di kantin/warung/koperasi kejujuran tidak perlu diawasi, tapi langsung membayar sendiri sesuai jumlah harga pembelian. Uang pembelian itu dimasukkan ke dalam tempat uang yang memang sengaja diletakkan di kantin/warung/koperasi kejujuran. Jika uang pemasukan ternyata lebih sedikit dari yang seharusnya, maka siswa diketahui telah bertindak tidak jujur. Terlebih dahulu, siswa memang dipahamkan bahwa ketidakjujuran mereka berakibat kerugian bagi kantin/warung/koperasi. Itu juga berarti kerugian bagi mereka karena modal untuk membeli barang kebutuhan kantin/warung/koperasi menjadi seret. Yang jelas, upaya membentuk kantin/warung/koperasi kejujuran di sekolah dapat dikategorikan sebagai bentuk perang terhadap korupsi.
Selain itu, perang terhadap korupsi tentu banyak ragamnya. Tak bisa dilupakan adalah peran dan tanggung jawab keluarga untuk mendidik anak agar antikorupsi. Menyuruh anak berbelanja dan mengembalikan uang kembalian dari belanja, misalnya, adalah salah satu contoh yang bisa diterapkan. Tidak dimungkiri jika ada orang tua yang membiarkan saja uang kembalian belanja karena hanya tak seberapa. Namun, seratus rupiah saja uang kembalian belanja yang dianggap sepele bisa membentuk mentalitas anak ketika bekerja. Tak menjadi soal jika uang kembalian itu diberikan lagi ke anak, namun anak hendaknya dibiasakan melaporkan uang pengeluaran dan uang kembalian dari belanja untuk membentuk sikap disiplin yang tentu bermanfaat bagi anak di hari depan.
Menurut penulis, membentuk mentalitas antikorupsi melalui pendidikan di lingkungan sekolah dan di lingkungan keluarga harapannya terus dijalankan. Selain apa yang diutarakan di atas, upaya pendidikan untuk membentuk mentalitas antikorupsi tentu masih banyak lagi. Pendidikan antikorupsi bagi anak-anak negeri yang masih menimba pendidikan, pendekatan diarahkan pada pembentukan moralitas serta penguatan kesadaran sosial, termasuk pembentukan mentalitas dan karakter yang bersih dari perilaku dan tindakan koruptif. Dengan demikian, ketika menjadi pejabat kelak di kemudian hari, mereka tidak melakukan korupsi. Mereka menjadi pejabat yang betul-betul bekerja untuk rakyat (pamong praja). Menggunakan uang negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa (Moh Yamin: 2008).
Pungkasnya, perang terhadap korupsi secara ofensif yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan memang selayaknya dilakukan untuk menjerat koruptor. Namun, di sisi lain, kita berkewajiban mendidik anak/siswa di masa kini agar bersih dari korupsi. Kebiasaan antikorupsi yang ditanamkan kepada anak/siswa pada saat ini akan menjadi budaya Indonesia di masa depan, yakni budaya Indonesia yang antikorupsi. Tugas mendesak kita adalah melahirkan generasi masa kini yang memiliki budaya antikorupsi untuk masa depan Indonesia . Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO