Di tengah bising bunyi knalpot kendaraan, puluhan bendera partai politik berkibar. Melambai menjadi pemandangan siapa pun yang mengitari jalanan. Beragam warna bendera parpol tampak begitu indah dengan lambang-lambang yang indah pula. Lambang yang tentunya memiliki makna filosofis. Apapun makna filosofis dari lambang di bendera yang berkibar itu, segenap parpol umumnya bertekad akan mempertampan wajah negeri.
Ungkapan mempertampan disebutkan bukan untuk memarjinalkan perempuan. Bukan. Itu karena politisi yang akan menghuni rumah DPR/D ke depan akan didominasi kaum laki-laki. Karena tak mungkin asri sebuah rumah tanpa kehadiran perempuan, maka perlu kuota 30%. Namun sayang, kaum laki-laki tak ingin menyaksikan wajah-wajah cantik. Parpol tak sedikit yang tak memenuhi kuota itu. Mungkin saja karena politisi laki-laki tak suka jika ketampanannya terenggut oleh kecantikan perempuan.
Parpol pun melenggang tanpa peduli. Laki-laki atau perempuan bukanlah persoalan, yang penting adalah daya. Daya yang katanya mengabdi bagi kepentingan kawula alit. Setiap parpol mengklaim calon legislatifnya yang terbaik di antara yang terbaik. Paling baik. Politisi-politisi yang bakal dikursikan di gedung dewan adalah terbaik. Tentu saja terbaik menurut kacamata parpol itu. Di kaca mata lain, politisi hitam ternyata masih bertebaran. Parpol pun tak sudi mengganti kacamata dan tetap mengatakan calegnya tak hitam karena hitam adalah gelap. Masyarakat tak mungkin memilih di kegelapan yang tak kelihatan. Karena masyarakat adalah target rayuan, barisan caleg harus dikatakan benderang. Dengan begitu, masyarakat tak perlu repot-repot menentukan pilihan karena tak mungkin salah jalan di hamparan putih yang terang.
Rayuan-rayuan parpol memang memikat. Siapa pun bisa bertekuk lutut meskipun kerap kali hanya rayuan gombal. Betapa pintarnya parpol merias wajah untuk sekadar mencuri hati masyarakat. Seketika masyarakat terpikat, parpol masih menahan menampakkan ceria. Menunda keceriaan atas kian tegapnya perolehan kursi di legilatif. Karena 2009 masih panjang, jangan dulu menampakkan ceria. Biarkan masyarakat terhanyut dalam buaian tentang impian negeri di awan. Menebar pesona dengan manis mulut dan pentas tokoh, parpol merangkul masyarakat agar memasuki sangkarnya.
Parpol memang akan terus mencoba menduduki kursi di rumah DPR/D. Tak ada kursi lain yang serupa kursi itu sehingga partai politik tak lelah merebutnya. Meskipun kursi di rumah sendiri sudah begitu nyamannya, kursi di DPR/D tetap tak ada bandingannya. Apalagi kursi RI-1, keindahan arsitekturnya pasti melebihi kursi di DPR/D. Parpol yang sudah memiliki kursi di DPR/D tetap perlu mati-matian mempertahankannya.
Betapa mahalnya kursi itu ketika memiliki. Maka, caleg pun tak rela dibuncitkan nomor urut pencalegannya. Kursi yang menyediakan gaji berlimpah, fasilitas dan tunjangan beraneka rupa. Menduduki kursi itu bisa berdasi bangga saat bersafari, menyusuri negeri manca, dan meraup rupiah dari rapat berkali-kali. Kursi yang kuasa mengangkat status sosial di mata sekitar. Karenanya, setiap caleg hanya ingin di urut satu, tak ingin di urut bawahnya. Khawatir tak bakal menembus parlemen jika diposisikan di nomor ekor.
Naasnya, menjadi anggota dewan ternyata tak sekira mata memandang. Politisi yang sedari cilik pontang-panting memegahkan bangunan parpolnya, nyatanya tak sedikit yang ditepikan. Karena kursi itu mahal, calegnya harus mahal pula. Celeg yang berkelas murah tak menjamin memperoleh kursi yang mahal. Di sebagian parpol, drama pun diputar dengan akhir cerita tercantumnya nama politisi yang hanya mengandalkan kantong tebal. Di sudut cerita lain, aktor layar kaca pun dipinang parpol untuk turut serta memperebutkan kursi yang mahal. Sebuah pembacaan partai yang tidak meleset karena masyarakat saat ini cenderung memprimadonakan aktor layar kaca. Namun demikian, tanpa disadari parpol jika itu justru menampakkan murahnya politisi parpol bersangkutan. Politisi parpol yang murah karena selama ini tak cakap mengelola rahim parpol i untuk melahirkan sosok mumpuni.
Pastinya, perjalanan masih terus berlanjut. Derap parpol belum berhenti karena titik pemberhentian itu masih 2009 nanti. Parpol akan terus mengibarkan bendera yang ke depan tentunya lebih hingar-bingar lagi. Kampanye yang kini masih terasa adem ayem akan menggeliat beberapa bulan ke depan. Di ruang-ruang manapun akan membahana lidah tak bertulang parpol untuk membujukrayu masyarakat. Janji-janji disuarakan untuk masyarakat mendengar. Tak ada waktu lagi berleha-leha bagi parpol untuk selekas mungkin memikat hati masyarakat. Parpol akan mengeluarkan amunisi program kesejahteraan di tengah kehidupan masyarakat yang masih penuh kepiluan. Elegi hidup di negeri kaya raya.
Pilihan akhirnya di tangan masyarakat. Meskipun tak mau menggerakkan tangan untuk memilih, di antara barisan caleg itu tetap saja menuju gedung dewan. Memilih atau tidak memilih, masyarakat tetap mengkursikan politisi. Tentu di barisan caleg itu tidak seluruhnya hitam. Ada yang putih benderang untuk menuntaskan perubahan. Untuk itu, debu yang menempel di kaca mata selaiknya dibersihkan untuk melihat seterang-terangnya barisan caleg yang beredar. Dengan kaca mata itu, masyarakat perlahan menilai seberapa putihnya caleg yang dijajakan parpol di etalase Pemilu 2009. Tak usah terlalu cepat jatuh hati terhadap setiap bujuk rayu parpol karena boleh jadi akan membuat sakit hati di kemudian hari. Masyarakat dengan kacamata yang bersih akan melihat senyata-nyata caleg terbaik. Kacamata yang bersih semoga mampu mengkursikan politisi yang nyata-nyata putih. Jika ternyata caleg yang terpilih tidak putih, kaca mata masyarakat yang mungkin pecah satu sehingga tak mampu melihat dengan jernih. Atau boleh jadi kacamata parpol yang pecah satu karena terlanjur mengklaim calegnya yang terbaik. Jika dengan kacamata yang utuh dan bersih masih sulit mendapatkan caleg terbaik, kita hanya mengelus dada, beristighfar, mendendangkan lagu kesedihan, dan barkata: tanyakan saja pada bendera parpol yang berkibar. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 17/10/08
Ungkapan mempertampan disebutkan bukan untuk memarjinalkan perempuan. Bukan. Itu karena politisi yang akan menghuni rumah DPR/D ke depan akan didominasi kaum laki-laki. Karena tak mungkin asri sebuah rumah tanpa kehadiran perempuan, maka perlu kuota 30%. Namun sayang, kaum laki-laki tak ingin menyaksikan wajah-wajah cantik. Parpol tak sedikit yang tak memenuhi kuota itu. Mungkin saja karena politisi laki-laki tak suka jika ketampanannya terenggut oleh kecantikan perempuan.
Parpol pun melenggang tanpa peduli. Laki-laki atau perempuan bukanlah persoalan, yang penting adalah daya. Daya yang katanya mengabdi bagi kepentingan kawula alit. Setiap parpol mengklaim calon legislatifnya yang terbaik di antara yang terbaik. Paling baik. Politisi-politisi yang bakal dikursikan di gedung dewan adalah terbaik. Tentu saja terbaik menurut kacamata parpol itu. Di kaca mata lain, politisi hitam ternyata masih bertebaran. Parpol pun tak sudi mengganti kacamata dan tetap mengatakan calegnya tak hitam karena hitam adalah gelap. Masyarakat tak mungkin memilih di kegelapan yang tak kelihatan. Karena masyarakat adalah target rayuan, barisan caleg harus dikatakan benderang. Dengan begitu, masyarakat tak perlu repot-repot menentukan pilihan karena tak mungkin salah jalan di hamparan putih yang terang.
Rayuan-rayuan parpol memang memikat. Siapa pun bisa bertekuk lutut meskipun kerap kali hanya rayuan gombal. Betapa pintarnya parpol merias wajah untuk sekadar mencuri hati masyarakat. Seketika masyarakat terpikat, parpol masih menahan menampakkan ceria. Menunda keceriaan atas kian tegapnya perolehan kursi di legilatif. Karena 2009 masih panjang, jangan dulu menampakkan ceria. Biarkan masyarakat terhanyut dalam buaian tentang impian negeri di awan. Menebar pesona dengan manis mulut dan pentas tokoh, parpol merangkul masyarakat agar memasuki sangkarnya.
Parpol memang akan terus mencoba menduduki kursi di rumah DPR/D. Tak ada kursi lain yang serupa kursi itu sehingga partai politik tak lelah merebutnya. Meskipun kursi di rumah sendiri sudah begitu nyamannya, kursi di DPR/D tetap tak ada bandingannya. Apalagi kursi RI-1, keindahan arsitekturnya pasti melebihi kursi di DPR/D. Parpol yang sudah memiliki kursi di DPR/D tetap perlu mati-matian mempertahankannya.
Betapa mahalnya kursi itu ketika memiliki. Maka, caleg pun tak rela dibuncitkan nomor urut pencalegannya. Kursi yang menyediakan gaji berlimpah, fasilitas dan tunjangan beraneka rupa. Menduduki kursi itu bisa berdasi bangga saat bersafari, menyusuri negeri manca, dan meraup rupiah dari rapat berkali-kali. Kursi yang kuasa mengangkat status sosial di mata sekitar. Karenanya, setiap caleg hanya ingin di urut satu, tak ingin di urut bawahnya. Khawatir tak bakal menembus parlemen jika diposisikan di nomor ekor.
Naasnya, menjadi anggota dewan ternyata tak sekira mata memandang. Politisi yang sedari cilik pontang-panting memegahkan bangunan parpolnya, nyatanya tak sedikit yang ditepikan. Karena kursi itu mahal, calegnya harus mahal pula. Celeg yang berkelas murah tak menjamin memperoleh kursi yang mahal. Di sebagian parpol, drama pun diputar dengan akhir cerita tercantumnya nama politisi yang hanya mengandalkan kantong tebal. Di sudut cerita lain, aktor layar kaca pun dipinang parpol untuk turut serta memperebutkan kursi yang mahal. Sebuah pembacaan partai yang tidak meleset karena masyarakat saat ini cenderung memprimadonakan aktor layar kaca. Namun demikian, tanpa disadari parpol jika itu justru menampakkan murahnya politisi parpol bersangkutan. Politisi parpol yang murah karena selama ini tak cakap mengelola rahim parpol i untuk melahirkan sosok mumpuni.
Pastinya, perjalanan masih terus berlanjut. Derap parpol belum berhenti karena titik pemberhentian itu masih 2009 nanti. Parpol akan terus mengibarkan bendera yang ke depan tentunya lebih hingar-bingar lagi. Kampanye yang kini masih terasa adem ayem akan menggeliat beberapa bulan ke depan. Di ruang-ruang manapun akan membahana lidah tak bertulang parpol untuk membujukrayu masyarakat. Janji-janji disuarakan untuk masyarakat mendengar. Tak ada waktu lagi berleha-leha bagi parpol untuk selekas mungkin memikat hati masyarakat. Parpol akan mengeluarkan amunisi program kesejahteraan di tengah kehidupan masyarakat yang masih penuh kepiluan. Elegi hidup di negeri kaya raya.
Pilihan akhirnya di tangan masyarakat. Meskipun tak mau menggerakkan tangan untuk memilih, di antara barisan caleg itu tetap saja menuju gedung dewan. Memilih atau tidak memilih, masyarakat tetap mengkursikan politisi. Tentu di barisan caleg itu tidak seluruhnya hitam. Ada yang putih benderang untuk menuntaskan perubahan. Untuk itu, debu yang menempel di kaca mata selaiknya dibersihkan untuk melihat seterang-terangnya barisan caleg yang beredar. Dengan kaca mata itu, masyarakat perlahan menilai seberapa putihnya caleg yang dijajakan parpol di etalase Pemilu 2009. Tak usah terlalu cepat jatuh hati terhadap setiap bujuk rayu parpol karena boleh jadi akan membuat sakit hati di kemudian hari. Masyarakat dengan kacamata yang bersih akan melihat senyata-nyata caleg terbaik. Kacamata yang bersih semoga mampu mengkursikan politisi yang nyata-nyata putih. Jika ternyata caleg yang terpilih tidak putih, kaca mata masyarakat yang mungkin pecah satu sehingga tak mampu melihat dengan jernih. Atau boleh jadi kacamata parpol yang pecah satu karena terlanjur mengklaim calegnya yang terbaik. Jika dengan kacamata yang utuh dan bersih masih sulit mendapatkan caleg terbaik, kita hanya mengelus dada, beristighfar, mendendangkan lagu kesedihan, dan barkata: tanyakan saja pada bendera parpol yang berkibar. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, 17/10/08